Dalam kesempatan yang berbeda, aku dan kakek mendiskusikan pohon itu langsung di lahan. Prediksi kami, pohon kopi tersebut tumbuh sendirinya dari buah persilangan antara Varietas Kartika dan Varietas S795 yang jatuh ke tanah karena lambat pemetikan. Kami memprediksi seperti itu karena secara teori memang besar kemungkinan persilangan alami antar varietas kopi bisa terjadi jika dua atau lebih varietas ditanam bersebelahan. Persilangan itu terjadi secara alami melalui bantuan lebah. Dan karena unik, pohon kopi yang kami prediksi hasil persilangan itu masih aku rawat sampai sekarang.
Seperti aku ceritakan tadi, pohon kopi yang unik dan memiliki nilai historis sampai saat ini tetap aku rawat untuk menjadi bagian fisik sejarah keluarga. Selebihnya, mulai tahun 2018 aku merombak kebun dengan tujuan jangka panjang menjadi kebun edukasi. Aku harap kebun keluargaku dapat menjadi media penelitian, media diseminasi teknologi, dan media percontohan petani sekitar. Oleh karena itu, jenis varietas yang aku tanam pun variatif, yaitu: 1) Varietas Kopyol-Bali; 2) Varietas Yellow Cattura; 3) Varietas Sigararutang; 4) Varietas USDA; 5) Varietas Andung Sari 1; 6) Varietas Cobra; 6) Varietas S795; dan 7) Varietas Komasti. Berbagai jenis varietas ditanam khusus, artinya tidak dicampur antar varietas untuk menghindari terjadinya persilangan alami.
Penaung di kebun kopi keluargaku sekarang adalah jeruk jenis Siem Kintamani, dan diselangi tanaman Kelor sebagai tanaman legum yang bisa men-supply nitrogen ke kopi. Beberapa jenis bunga juga turut ditanam untuk memancing datangnya lebah agar bisa membantu penyerbukan bunga kopi. Kakek, aku, dan keluarga sangat senang setiap ada kunjungan ke kebun karena kami bisa saling bertukuar pikiran dan inovasi untuk kemajuan pengembangan komoditas kopi. Mohon doa ya sahabat, agar apa yang kakek dan aku cita-citakan berjalan dengan baik. Sehingga mampu memberikan dampak, baik dari sisi sosial ekonomi maupun lingkungan.
Kembali ke ceritaku dengan kakek, pertanyaan pamungkas yang aku sampaikan dan mengakhiri dialek kami malam itu adalah "lalu jika aku ingin tau lebih dalam cerita masuknya kopi di Desa Langkan, kepada siapa aku harus bertanya?". Tetap ditemani sebatang rokok kakek berfikir sejanak, dan menyampaikan sesuatu. Kakek menjawab, bahwa ketika kopi masuk, kelian dinas (kepala dusun) Desa Langkan waktu itu adalah Nengah Guna (sekarang akrab disapa Pekak Mangku Pon). Jadi, besar kemungkinan aku akan mendapatkan cerita lengkapnya pada beliau. Sungguh jawaban yang memberikan harapan besar, semoga mampu menuntun kita menyelisik cerita Kopi Langkan lebih dalam.
Setelah itu aku menatap kakek yang menghimbau untuk segera tidur karena sudah larut malam. Kami mematikan tungku api, menyeka selimut, ditemani dingin yang mulai terasa kembali, waktunya beristirahat. Semoga jawaban kakek yang mengakhiri dialek malam itu menjadi kunci cerita kita berlanjut, dan sampai jumpa pada Serial Kopi Langkan #2...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H