Abad ke-21 adalah abad teknologi informasi. Pada abad ini, interaksi umat Hindu di seluruh Dunia terjalin dengan mudah. Guru-guru di India dengan mudah melakukan pengajaran daring ke umat Hindu di seluruh dunia. Guru-guru di Bali juga bias dengan mudah melakukan pengajaran daring global.
Karena itu, interaksi budaya terjalin dengan cepat tanpa hambatan. Apalagi Bali yang menjadi destinasi wisata terkenal di dunia sehingga banyan guru Hindu yang melakukan pertemuan di Bali dengan murid-muridnya dari seluruh dunia, dengan booking hotel di Nusa Dua misalnya.
Interaksi budaya ini tentu saja menimbulkan proses yang disebut dominasi budaya yang dominan. Dominasi budaya ini tidak hanya menjadi isu pada Hindu di Indonesia tetapi juga menjadi isu umat Hindu di India, karena dominasi budaya India utara kepada India selatan. Hal itu terjadi melalui media dan industri film India (Bollywood).
Karena itu, negara-negara bagian di India selatan membangun industri film tersendiri dan media tersendiri tetapi tetap budaya India utara lebih dominan, sehingga penggunaan atribut lokal di India sangat marak di negara-negara bagian India selatan sebagai perlawanan terhadap budaya dominan India utara, yang merupakan pusat pemerintahan.
Pada konteks Hindu di Indonesia, jika interaksi dengan India dikurangi maka budaya Bali akan mendominasi Hindu di Indonesia karena media dan produk-produk digital. Karena itu, persoalan dominasi sulit dihindari dalam interaksi budaya. Dominasi akan terjadi melalui jalur formal (pemerintah) dan sebaran media. Karena itu, membangun kelokalan merupakan tantangan yang sulit pada masa ini.
Oleh karena itu, kelokalan Hindu seharusnya dilaksanakan dalam konteks penerapan ajaran Hindu dalam konteks lokal. Pada pemikiran agama, umat harus terbuka menerima pemikiran-pemikiran Hindu baru dari pemikir Hindu di manapun. Sebab banyak kelokalan Hindu yang menjadi mekar karena pengaruh pemikiran Hindu di luar.
Seperti misalnya pemberdayaan masyarakat desa (desa adat) menjadi mekar karena pemikiran Hindu modern (Gandhi) yang disebut dengan Sarvodaya. Konsep Shivasakti yang diterjemahkan menjadi bank pedesaan (gramany bank) Yunus di Bangladesh yang berbasis kredit untuk perempuan adalah model yang bagus untuk pembangunan economi pedesaan di Bali.
Pemikiran-pemikiran Hindu modern, seperti Amartya Zen juga merupakan pemikiran-pemikiran yang baik bagi pemberdayaan desa sebab berbasis pemerataan ekonomi seperti yang telah berjalan dalam desa-desa adat di Bali. Karena itu, pembangunan kelokalan ini harus membuka masyarakat Hindu untuk menyerap pemikiran-pemikiran Hindu di seluruh dunia, hanya penerapannya yang harus disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Gerakan kelokalan harus diwujudkan dalam bentuk program-program nyata dengan tujuan dan indikator yang jelas. Model-model program ini tidak harus menutup diri terhadap model-model pemberdayaan umat Hindu yang baik di luar negeri. Model-model itu harus menjadi inspirasi bagi pembangunan umat Hindu di Indonesia.
Demikian juga dalam pembinaan pendidikan Hindu, seharusnya juga mengambil model-model pendidikan Hindu yang berhasil di luar negeri (India). Seperti misalnya keberhasilan universitas-unviversitas di India dalam mengembangkan studi-studi kesehatan Hindu, harus menjadi pembelajaran pengembangan pendidikan Hindu di Indonesia.
Karena itu, semangat Hindu Nusantara ini tidak boleh diartinya sebagai anti-luar negeri. Umat Hindu di Indonesia harus seperti angsa yang bisa memilih makanan yang baik dalam lumpur.