Mohon tunggu...
I Ketut Suar Adnyana
I Ketut Suar Adnyana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FKIP Universitas Dwijendra Denpasar

Lahir pda tanggal 15 Mei 1967 Menamatkan S1 Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, Tahun 1992 pada FKIP Universitas Udayana Menyelesaikan S2 bidang Linguistik di Universitas Udayana pada tahun 2008 Menyelesaikan S3 bidang Linguistik di Universitas Udayana tahun 2012

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Memerdekakan Siswa dalam Pembelajaran

7 Februari 2021   20:22 Diperbarui: 7 Februari 2021   20:58 5611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Merdeka Belajar: Memerdekakan Siswa dalam Pembelajaran

Dr. I Ketut Suar Adnyana Adnyana, M.Hum.

Universitas Dwijendra Denpasar


  • Pendahuluan

Paradigma pembelajaran yang mengarah pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning) memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif terlibat dalam pembelajaran. Perubahan paradigma ini hendaknya diikuti oleh langkah konkret guru dalam pembelajaran. Kenyataannya dalam proses pembelajaran guru masih mendominasi dalam pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan dari  aktivitas   guru terlalu fokus pada rancangan kegiatan pembelajaran yang sangat detil. Guru terlalu berpatokan pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan tidak melakukan inovasi dalam pembelajaran.

Pembuatan RPP membuat guru terlalu fokus dalam penyelesaian administrasi. Guru lupa memberikan pengalaman kepada siswa dalam pembelajaran. Guru terkesan hanya mengejar tercapainya penyelesaian materi. Padahal dalam Kurikulum 2013 sudah sangat jelas ada empat kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Kompetensi itu adalah Kompetensi Inti (KI)  I sikap spiritual, K II sikap sosial, KI 3 pengetahuan, dan KI 4 keterampilan.

RPP yang dibuat detil justru mengekang inovasi guru dalam pembelajaran. Guru dalam proses pembelajaran hanya berpatokan pada RPP. Kalau kita analisis RPP untuk Kurikulum 2013 telah mengalami sekian kali revisi. Perubahan tersebut tidak esensial. Dalam pelaksanaan pembelajaran tetap mengacu pada RPP yang disusun dengan kaku. Ukuran keberhasilan sebuah pembelajaran hanya diukur dari ketuntasan pokok bahasan dalam pembelajaran.

Paradigma pendidikan yang mengarah pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning) masih didominasi oleh guru. Guru tetap memberikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah yang begitu banyak kepada siswa. Hal tersebut dapat menyebabkan siswa menjadi pasif dalam pembelajaran. Guru sebagai fasilitator hendaknya memberikan kesempatan kepada murid untuk   mengembangkan  kemampuannya dalam pembelajaran. 

Inti dari sebuah pembelajaran adalah memberikan siswa pengalaman dalam pembelajaran. Kurikulum 2013 diberlakukan dengan mengimplementasikan pendekatan saintifik. Dalam pendekatan saintifik ada beberapa tahap/ kegiatan, yaitu: Observing, Questioning, Associating, Experimenting, Processing, Conclusing, Presenting. 

Observing adalah proses mengamati suatu fakta. Questioning adalah proses menanyakan atau membuat hipotesis segala sesuatu seputar fakta yang diamati. Associating adalah menalar atau melakukan asosiasi antara yang diketahui sebelumnya dengan apa yang baru diketahui. 

Experimenting adalah menguji pertanyaan-pertanyaan atau hipotesis yang muncul dalam questioning. Processing adalah kegiatan yang dilakukan untuk merumuskan pengetahuan yang diperoleh dari empat proses sebelumnya. Conclusing adalah merumuskan atau menyimpulkan pengetahuan yang diperoleh dan Presenting siswa dapat menyampaikan informasi yang telah diperoleh dalam pembelajaran (Susilana dan Ihsan, 2014:4).

Apabila pendekatan saintifik diimplementasikan dengan baik, dalam proses pembelajaran maka   siswa akan menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, penerapan pendekatan ini diterapkan secara kaku dan tertulis baku dalam RPP. Hal ini membuat pembelajaran tidak fleksibel.

Penilaian yang berdasar pada penilaian otentik belum berjalan maksimal dan cenderung menyimpang dari esensi penilaian otentik. Penilaian yang dilakukan selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran seolah tidak berguna karena penentu kelulusan siswa adalah ujian nasional(UN). Hal ini  merupakan sebuah kontradiktif. Siswa setelah sekian lama menempuh pendidikan pada satuan pendidikan kelulusannya hanya ditentukan oleh UN. Hal ini merupakan sebuah ironi pendidikan di Indonesia. UN dijadikan tolak ukur kualitas pendidikan.

Hasil kajian berkaitan dengan fenomena tersebut pemerintah telah telah menerbitkan surat edaran berkaitan dengan merdeka belajar. Merdeka belajar memberikan kesempatan kepada siswa dan guru lebih leluasa untuk mengembangkan kreativitas pembelajaran. Merdeka belajar tidak dimaknai sebagai kebebasan tanpa aturan.

  • Kiat Memerdekakan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran

Memerdekakan guru dan siswa dalam pembelajaran bukan berarti memberikan keleluasaan tanpa batas kepada guru dan siswa dalam pembelajaran. Adapun kiat untuk memerdekakan guru dan siswa dalam pembelajaran seperti 1) memposisikan guru sebagai learning manager dalam pembelajaran, 2) Sekolah diberi kewenangan dalam menentukan kelulusan siswa, 3) Guru diberikan berkreasi dalam mengembangkan rencana pembelajaran, dan 4) Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) lebih fleksibel.


  • Guru sebagai Learning Manager dalam Pembelajaran 

Perkembangan teknologi memberikan kemudahan untuk mengakses informasi dari berbagai sumber. Dunia ibarat tidak bersekat dan tak terpisah oleh waktu. Kemajuan teknologi komunikasi selain berdampak positif tentu juga mempunyai dampak negatif. Kemampuan mengakses internet bukan merupakan kebutuhan orang dewasa tetapi juga merupakan kebutuhan bagi siswa.

Siswa tidak dapat dilepaskan dari penggunaan handphone. Handphone tidak hanya digunakan untuk bermain game tetapi juga digunakan mencari jawaban Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan oleh guru.  Tanpa bertanya pada google, PR tidak dapat diselesaikan. Yang menjadi permasalahan, siswa hanya mencari materi dengan melakukan brosing. Setelah mendapat jawaban dari google, siswa hanya melakukan salin dan rekat (copy paste). Apa isi hasil perburuannya dari google tidak dipahami siswa.

Yang lebih memprihatinkan, siswa tidak mau membaca teks yang berhubungan dengan PR. Seharusnya siswa membaca teks dalam buku teks siswa, setelah itu siswa mencari   jawaban jawabannya dalam teks tersebut. Siswa dibuat malas membaca buku teks. Siswa menginginkan jawaban instan tanpa mau memahami jawaban yang diperoleh dari google.

Fenomena ini akan terus terjadi. Peran orang tua sangat penting untuk membatasi penggunaan handphone. Ketika anak membuat PR, orang tua hendaknya menyediakan dan meluangkan waktu mendampingi anak dalam membuat PR. Cara instan yang dilakukan siswa memberikan dampak negatif bagi siswa. Siswa tidak melatih keterampilan membaca tetapi siswa hanya terampil berburu informasi tanpa memahami apa yang dibuat. 

Orang tua perlu menjelaskan kepada anak apa efek negatif penggunaan hand phone. Orang tua sebagai pendamping, bisa memberikan bagaimana memanfaat hand phone dengan baik. Orang tua perlu membuat "kontrak" kepada anak berkaitan penggunaan hand phone. Apabila tidak dilakukan kesepakatan, anak dengan leluasa menggunakannya. Banyak hiburan dan  aplikasi game yang ada pada handphone. Dikhawatirkan tanpa kontrol orang tua, anak akan menghabiskan waktu hanya berkutat dengan game.

Disamping peran orang tua, peran guru juga sangat penting untuk memberi arahan bagaimana cara menggunakan handphone dengan baik sehingga handphone dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah memang sangat penting untuk mengembangkan kompetensi siswa tetapi peran guru harus berubah. Guru berperan sebagai learning manager. Guru mampu memposisikan diri sebagai manajer dalam pembelajaran.

Keterampilan guru dalam melakukan fungsi sebagai manajer berupa keterampilan guru dalam memanfaatkan smartphone sebagai sumber belajar. Guru melatih dan meningkatkan kemampuan siswa mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill). Tentu tingkatan berpikir siswa disesuaikan dengan perkembangan psikologis dan umur siswa. Tuntutan berpikir tingkat tinggi  siswa SD berbeda dengan siswa SMP. Hal ini perlu mendapat perhatian guru sehingga proses berpikir kritis siswa terlatih sejak usia Sekolah Dasar.

Cara yang bisa dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara melatih kemampuan siswa berargumentasi. Siswa mampu menggali lebih dalam terhadap infomasi yang diperoleh dari internet. Hal ini penting dilakukan karena selama ini ranah yang dominan dikembangkan adalah ranah kognitif siswa. Seharusnya porsi yang lebih besar dikembangkan adalah ranah psikomotor dan memadukan dengan ranah afektif. 

Tugas siswa tidak hanya berhenti apabila siswa telah mengerjakan tugas itu. Perlu ada tindak lanjut terhadap PR yang dibuat siswa. Selama ini guru hanya memberikan nilai dan memberikan komentar terhadap tugas siswa. Guru dituntut untuk menerapkan kemampuan manajerialnya. Apa yang dipelajari dan apa yang dikerjakan siswa  bermanfaat bagi siswa sehingga siswa mempunyai pengalaman dalam proses pembelajaran.  

Manajerial dalam mengaktifkan siswa perlu dimiliki guru. Guru hendaknya mampu berinovasi dalam pembelajaran untuk menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan pada desrupsi  teknologi pada saat ini.  Buku teks pada saat ini bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Siswa secara masif menggunakan kecanggihan teknologi komunikasi (smartphone).  Penggunaan teknologi komunikasi tersebut perlu diarahkan sehingga penggunaannya bermanfaat bagi siswa. Apabila tidak diarahkan, siswa akan sebagai pengguna pasif  yang hanya menerima informasi tanpa melatih kemampuan untuk menelaah informasi tersebut.

Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa merupakan bentuk kemampuan manajerial guru dalam pembelajaran. Guru sudah mempunyai ancangan untuk meningkatkan kemampuan siswa berpikir kritis. Peningkatan kemampuan tersebut terus ditumbuhkan sehingga siswa  mau membaca hasil pencarian di google. Siswa benar-benar mengerti tentang tugas yang dikerjakan siswa.Hal itu memberikan efek positif bagi siswa. Disamping untuk meningkatkan pemahaman, siswa  juga dilatih untuk berargumentasi dengan mengutarakan pemahamannya terhadap tugas yang telah diselesaikan.

2. Sekolah Menentukan Kelulusan Siswa

Nafas lega bagi siswa dan guru dirasakan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan bahwa tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN terakhir. Keputusan tersebut tentu menggembirakan bagi siswa, guru dan orang tua siswa. Kalau dicermati pelaksanaan UN sebelum 2020, UN menjadi penentu kelulusan siswa. UN merupakan bentuk asesmen yang menakutkan. Bukan hanya bagi siswa UN itu menakutkan bahkan pejabat daerah juga takut akan pelaksanaan UN yang nota bene mutlak dijadikan tolak ukur kelulusan siswa.

Jika dicermati dengan baik, UN ibarat dewa pencabut nyawa. Untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi UN, pihak sekolah memberikan jam tambahan pada mata pelajaran yang di UN-kan. Bukan hanya mengikuti jam tambahan di sekolah saja,  siswa juga mengikuti les pada lembaga bimbingan  belajar. Siswa diporsir untuk mencapai target kelulusan. Untuk mengukur kemampuan siswa, bermacam-macam try out dilakukan dari tingkat gugus, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Semua model try out tersebut sangat menjemukan siswa. Siswa terpaksa berhadapan dengan soal-soal yang bersifat hapalan saja.

Model try out seperti itu merupakan bentuk kekhawatiran. Pimpinan daerah berusaha agar siswa  di wilayahnya lulus dalam mengikuti UN. Kekhawatiran itu mengakibatkan pelaksanaan UN tidak berjalan objektif. Pelaksanaan UN berlangsung dengan penuh kecurangan. Sebelum UN dimulai, siswa sudah mendapatkan jawaban. Hal ini sangat tidak baik. Motivasi belajar siswa berkurang karena siswa sudah mendapat jawaban. Siswa sudah mengetahui bahwa dirinya pasti akan lulus karena akan dibantu. Oleh karena itu, siswa menjadi malas untuk mempersiapkan diri. 

Kajian selama pelaksanaan UN dilakukan oleh pemerintah. Pendidik, penggiat pendidikan menilai bahwa pelaksanaan  UN   perlu ditinjau karena UN dianggap sebagai momok bagi siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh hasil UN. Penilaian sebelumnya yang dilakukan oleh guru seolah-olah tidak berguna.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyatakan bahwa tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN yang terakhir. Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11) sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.

Dalam Surat Edaran Nomor I Tahun 2020 tentang Kebijakan Merdeka Belajar dalam Penentuan Kelulusan Peserta Didik dan Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2020/2021 disebutkan bahwa penentuan kelulusan peserta didik adalah a) Kelulusan peserta didik ditentukan melalui ujian sekolah yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan berdasarkan penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru, b) Bahan ujian sekolah untuk peserta didik (seperti tes tertulis, portofolio, penugasan, dan atau bentuk kegiatan lain) dibuat oleh guru pada masing-masing satuan pendidikan. c) Satuan pendidikan yang belum siap membuat bahan ujian sekolah dapat menggunakan bahan penilaian (tes tertulis, tugas, dan/atau bentuk ujian lain) yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti soal-soal yang dibuat oleh Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran. d) Dinas pendidikan tidak dapat memaksa satuan pendidikan untuk menggunakan bahan tertentu dalam pelaksanaan ujian sekolah.

Penetapan sekolah sebagai penentu kelulusan siswa merupakan langkah yang tepat. Pihak sekolah yang mengetahui secara pasti bagaimana sebenarnya kompetensi siswa. Penilaian yang dilakukan sudah komprehensif karena penilaian dilakukan selama proses pembelajaran dan akhir pembelajaran. Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Nadiem Makarim bahwa penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. 

Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11) sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.

3. Guru Dibebaskan Berkreasi dalam Mengembangkan Rencana Pembelajarannya

Format baku Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang selama ini diterapkan mengakibatkan guru berfokus dalam menyelesaikan tugas administrasi. Guru diharuskan mendisain pembelajaran secara detil. Disain tersebut dijadikan acuan baku dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru seolah-olah dikekang melaksanakan pembelajaran.  Setiap langkah pembelajaran harus dicantumkan dalam RPP. RPP setiap saat ada revisinya. Ini cukup menyita waktu guru dalam menyiapkan proses pembelajaran. Esensi perubahan tidak membawa dampak positif bagi peningkatan kompetensi anak. Guru masih mendominasi dalam proses pembelajaran.

Salah satu jalan yang dilakukan untuk mengurangi tugas guru agar tidak berkutat dalam administrasi adalah dengan menyederhanakan RPP. Guru diberikan keleluasaan berkreasi dalam menyusun RPP karena pada prinsipnya kreativitas guru dalam melaksanakan pembelajaran akan menentukan kompetensi siswa setelah mengikuti pembelajaran.

Format RPP yang dibakukan dan jumlah halaman yang begitu banyak  tentu membebani guru. Format RPP cukup satu halaman saja yang terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Pembelajaran tidak perlu dibuat rinci. RPP hanya memuat garis besar pembelajaran. Gurulah yang akan mengembangkan rencana tersebut dalam pembelajaran. Dengan itu guru mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengevaluasi proses pembelajaran.

4.  Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) lebih fleksibel

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa  yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut jelas tertuang dalam Pasal 31 UUD1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang baik.

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional Pendidikan nasional pada Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk memenuhi hak setiap warga negaranya untuk dapat mendapatkan pendidikan yang layak. Salah satu target pemerintah adalah memeratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Harapan pemerintah semua sekolah mempunyai kualitas yang sama sehingga masyarakat tidak perlu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang berada di perkotaan karena sekolah yang bermutu sudah ada di setiap desa atau kota kecamatan.

Untuk merealisasikan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Permendikbud bertujuan menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. DalamPasal 11 ayat (1) Pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui jalur sebagai berikut: a. zonasi; b. afirmasi; c. perpindahan tugas orang tua/wali; dan/atau d. prestasi

Jalur zonasi sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) huruf a. paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari daya tampung Sekolah. (2) Jalur afirmasi sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) huruf b paling sedikit 15% (lima belas persen) dari daya tampung Sekolah. (3) Jalur perpindahan tugas orang tua/wali sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) huruf c paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung Sekolah. (4) Dalam hal masih terdapat sisa kuota dari pelaksanaan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pemerintah Daerah dapat membuka jalur prestasi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d. Hal ini merupakan bentuk kefleksibelan dalam menerapkan sistem zonasi dalam PPDB.

Simpulan

Pemerintah berkomitmen memajukan  pendidikan dengan melakukan perubahan untuk mengadaptasi perkembangan teknologi. Bentuk perubahan tersebut berupa kebijakan untuk memerdekakan guru dan siswa dalam pembelajaran. Ada beberapa kiat dalam memerdekanan guru dan siswa dalam pembelajaran seperti 1) guru sebagai learning manager dalam pembelajaran. Guru mengelola pembelajaran sehingga siswa aktif dalam pembelajaran. Guru bukan satu- satunya sumber belajar. Siswa sudah bisa  mengakses informasi melalui internet. Tugas siswa yang telah dikerjakan perlu ditindaklanjuti sehingga siswa memahami dengan baik tugas tersebut.

2) Kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah. Dengan itu proses asesmen dapat dilakukan dengan baik dan komprehensif. Sekolah mempunyai rekam jejak akademik setiap siswa. Sangatlah wajar apabila kelulusan siswa ditentukan oelh sekolah. 3) RPP dibuat ringkas yang terdiri dari Format RPP cukup satu halaman saja yang terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Dengan itu guru dapat mempersiapkan dengan baik proses penilaian dalam pembelajaran. 4) Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Hal ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menetukan sekolah pilihannya sesuai dengan kemampuannya.

Sumber:

Rudi Susilana, Heli Ihsan Edutech, Tahun 13, Vol.1, No.2, Juni 2014

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional Pendidikan nasional

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang  Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.

Surat Edaran Nomor I Tahun 2020 tentang Kebijakan Merdeka Belajar dalam Penentuan Kelulusan Peserta Didik dan Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2020/2021

Profil Singkat Penulis

Penulis merupakan dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Dwijendra. Penulis menyelesaikan pendidikan program doktor pada Universitas Udayana pada tahun 2012. Penulis pernah mengenyam pendidikan selama 3 bulan di Ateneo The  Manila University pada tahun 2003, Pada tahun 2009 mengikuti pendidikan selama tiga bulan di The University of Quensland, Brisbane, Australia. Penulis aktif menulis di berbagai koran online maupun cetak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun