Tugas siswa tidak hanya berhenti apabila siswa telah mengerjakan tugas itu. Perlu ada tindak lanjut terhadap PR yang dibuat siswa. Selama ini guru hanya memberikan nilai dan memberikan komentar terhadap tugas siswa. Guru dituntut untuk menerapkan kemampuan manajerialnya. Apa yang dipelajari dan apa yang dikerjakan siswa  bermanfaat bagi siswa sehingga siswa mempunyai pengalaman dalam proses pembelajaran. Â
Manajerial dalam mengaktifkan siswa perlu dimiliki guru. Guru hendaknya mampu berinovasi dalam pembelajaran untuk menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan pada desrupsi  teknologi pada saat ini.  Buku teks pada saat ini bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Siswa secara masif menggunakan kecanggihan teknologi komunikasi (smartphone).  Penggunaan teknologi komunikasi tersebut perlu diarahkan sehingga penggunaannya bermanfaat bagi siswa. Apabila tidak diarahkan, siswa akan sebagai pengguna pasif  yang hanya menerima informasi tanpa melatih kemampuan untuk menelaah informasi tersebut.
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa merupakan bentuk kemampuan manajerial guru dalam pembelajaran. Guru sudah mempunyai ancangan untuk meningkatkan kemampuan siswa berpikir kritis. Peningkatan kemampuan tersebut terus ditumbuhkan sehingga siswa  mau membaca hasil pencarian di google. Siswa benar-benar mengerti tentang tugas yang dikerjakan siswa.Hal itu memberikan efek positif bagi siswa. Disamping untuk meningkatkan pemahaman, siswa  juga dilatih untuk berargumentasi dengan mengutarakan pemahamannya terhadap tugas yang telah diselesaikan.
2. Sekolah Menentukan Kelulusan Siswa
Nafas lega bagi siswa dan guru dirasakan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan bahwa tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN terakhir. Keputusan tersebut tentu menggembirakan bagi siswa, guru dan orang tua siswa. Kalau dicermati pelaksanaan UN sebelum 2020, UN menjadi penentu kelulusan siswa. UN merupakan bentuk asesmen yang menakutkan. Bukan hanya bagi siswa UN itu menakutkan bahkan pejabat daerah juga takut akan pelaksanaan UN yang nota bene mutlak dijadikan tolak ukur kelulusan siswa.
Jika dicermati dengan baik, UN ibarat dewa pencabut nyawa. Untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi UN, pihak sekolah memberikan jam tambahan pada mata pelajaran yang di UN-kan. Bukan hanya mengikuti jam tambahan di sekolah saja,  siswa juga mengikuti les pada lembaga bimbingan  belajar. Siswa diporsir untuk mencapai target kelulusan. Untuk mengukur kemampuan siswa, bermacam-macam try out dilakukan dari tingkat gugus, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Semua model try out tersebut sangat menjemukan siswa. Siswa terpaksa berhadapan dengan soal-soal yang bersifat hapalan saja.
Model try out seperti itu merupakan bentuk kekhawatiran. Pimpinan daerah berusaha agar siswa  di wilayahnya lulus dalam mengikuti UN. Kekhawatiran itu mengakibatkan pelaksanaan UN tidak berjalan objektif. Pelaksanaan UN berlangsung dengan penuh kecurangan. Sebelum UN dimulai, siswa sudah mendapatkan jawaban. Hal ini sangat tidak baik. Motivasi belajar siswa berkurang karena siswa sudah mendapat jawaban. Siswa sudah mengetahui bahwa dirinya pasti akan lulus karena akan dibantu. Oleh karena itu, siswa menjadi malas untuk mempersiapkan diri.Â
Kajian selama pelaksanaan UN dilakukan oleh pemerintah. Pendidik, penggiat pendidikan menilai bahwa pelaksanaan  UN  perlu ditinjau karena UN dianggap sebagai momok bagi siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh hasil UN. Penilaian sebelumnya yang dilakukan oleh guru seolah-olah tidak berguna.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyatakan bahwa tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN yang terakhir. Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11) sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
Dalam Surat Edaran Nomor I Tahun 2020 tentang Kebijakan Merdeka Belajar dalam Penentuan Kelulusan Peserta Didik dan Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2020/2021 disebutkan bahwa penentuan kelulusan peserta didik adalah a) Kelulusan peserta didik ditentukan melalui ujian sekolah yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan berdasarkan penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru, b) Bahan ujian sekolah untuk peserta didik (seperti tes tertulis, portofolio, penugasan, dan atau bentuk kegiatan lain) dibuat oleh guru pada masing-masing satuan pendidikan. c) Satuan pendidikan yang belum siap membuat bahan ujian sekolah dapat menggunakan bahan penilaian (tes tertulis, tugas, dan/atau bentuk ujian lain) yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti soal-soal yang dibuat oleh Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran. d) Dinas pendidikan tidak dapat memaksa satuan pendidikan untuk menggunakan bahan tertentu dalam pelaksanaan ujian sekolah.
Penetapan sekolah sebagai penentu kelulusan siswa merupakan langkah yang tepat. Pihak sekolah yang mengetahui secara pasti bagaimana sebenarnya kompetensi siswa. Penilaian yang dilakukan sudah komprehensif karena penilaian dilakukan selama proses pembelajaran dan akhir pembelajaran. Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Nadiem Makarim bahwa penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.Â