Prosesi Perkawinan Masyarakat Matrilineal Suku Tetun Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara  Timur
Oleh: Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Dosen pada FKIP Universitas Dwijendra Denpasar
Secara umum Kabupaten Belu dapat dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Belu Utara yang merupakan daerah dataran tinggi atau disebut dengan keletek kruin dan Belu Selatan yang merupakan dataran rendah atau disebut dengan sabete sladi.Â
Kedua wilayah ini menganut sistem adat yang berbeda. Belu Utara dikenal dengan adat Foho dan Belu Selatan dikenal dengan adat Fehan (UPTD Arkeologi, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Nusa Tenggara Timur 2003)
Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan untuk mengefisienkan pelayanan kepada masyarakat maka Kabupaten Belu dimekarkan menjadi Kabupaten Malaka pada tanggal 11 Januari 2013 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Malaka di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan terletak di daratan Timor.Â
Posisi geografis Kabupaten Malaka di daratan Timor, Provinsi NTT adalah di bagian paling timur dan Secara geopolitik, memiliki posisi strategis karena berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).Â
Kabupaten Malaka berbatasan darat atau langsung dengan Negara Timor Leste dan berbatasan laut dengan Negara Australia. Adapun batas-batas wilayah administratif kabupaten ini adalah sebagai berikut : Selatan : berbatasan dengan Laut Timor, Utara : berbatasan dengan wilayah kabupaten Belu, Barat : berbatasan dengan wilayah Kabupaten TTU dan TTS Timur : berbatasan dengan wilayah Negara Timor Laste ( diramu dari berbagai sumber)
Masyarakat Kabupaten Malaka secara umum menganut sistem perkawinan matrilineal. Proses peminangan pada sistem perkawinan matrilineal, keluarga pihak perempuan meminang calon pengantin laki-laki.Â
Hal yang membedakan dengan sistem perkawinan patrilineal adalah ketika dalam acara peminangan laki-laki, pihak perempuan tidak menyerahkan belis pada keluarga perempuan.Â
Pada masyarakat patrilineal, keluarga laki-laki  menyerahkan belis kepada pihak perempuan. Pada masyarakat matrilineal, setelah acara pernikahan dilakukan dan disyahkan secara adat dan agama, laki-laki tinggal di rumah perempuan (mertuanya).Â