Mohon tunggu...
I. Addi Wisudawan
I. Addi Wisudawan Mohon Tunggu... Pengacara - beginner writer

motorcycle traveller

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rohingya Dalam Kacamata Hukum Internasional

20 September 2017   14:22 Diperbarui: 20 September 2017   14:27 17855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebetulnya ada beberapa mekanisme yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan kasus seperti yang terjadi pada Etnis Muslim Rohingya diatas diantaranya melalui  Mekanisme Peradilan Pidana Internasional di International Criminal Court (ICC) karena secara umum, berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada,  tindakan-tindakan militer/ Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat diklasifikasikan dan dikatagorikan sebagai tindakan Genosidan dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan  sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7  Statuta Roma

Namun yang menjadi masalah dalam prosese hukumnya, Myanmar tidak meratifikasi seluruh perjanjian internasional tersebut, sehingga tidak terikat dan terbebani tanggung jawab sebagaimana termkahtub dalam perjanjian-perjanjian dimaksud jika akan dilakukan mekanisme berbasis perjanjian internasional (Treaty Based Mecanism) tersebut.

Sungguh pun demikian, ICC dapat mengambil alih kasus ini jika Myanmar dianggap tidak mampu menyelesaiakan dan mengadili kasus tersebut sesuai pasal 17 ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan "Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali kalau Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melakukan penyelidikan atau penuntutan";

Terkait sanksi hukum terhadap Myanmar yang dapat diberikan oleh ICC adalah pengenaan prinsip tanggungjawab pidana individu (individual criminal responsibility) sesuai dalam pasal 25 statuta roma, dan tanggung jawab komandan dan atasan (commander and superior responsibility) sesuai dalam pasal 27 statuta roma. Selanjutnya, pelaku dapat dikenakan hukuman ganti rugi kepada korban termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi (sesuai dalam pasal 75 statuta roma) serta dapat pula dikenakan pidana penjara paling lama 30 tahun atau penjara seumur hidup dengan melihat beratnya kejahatan serta kondisi-kondisi personal dari terpidana ditambah denda dan pembekuan harta kekayaan yang didapat secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya sesuai dalam pasal 77 statuta roma.

Mekanisme lain adalah melalui Dewan HAM PBB, dengan mekanisme Complaint Procedure yang membuka peluang bagi individu atau organisasi selaku subyek hukum untuk melaporkan dewan mengenai pelanggaran HAM berat, dan kemudian akan dilanjutkan dengan mekanisme Special Procedure berupa pencarian fakta-fakta hukum dalam bentuk investigasi yang akan lakukan para ahli independen dengan mandat dari dewan HAM PBB.  Rangkaian mekanisme tersebut disebut dengan Charter Based Mecanism, yang menggunakan Piagam PBB sebagai dasar oleh Dewan HAM PBB.

Mekanisme terakhir adalah meknisme intervensi militer.  Jerry Indrawan, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta, dalam tulisannya yang berjudul Mungkinkah Intervensi Militer ke Myanmar pada kolom opini harian republika (tanggal 13 september 2017), yang berpendapat bahwa konteks kedaulatan Negara dapat dikontestsasikan dengan konsep Responbility to Protect jika berada dalam rezim politik internasional yang semakin borderless. Inti dari konsep Responbility to Protect adalah kedaulatan Negara menyaratkan perlindungan terhadap warga negaranya sendiri, jika dalam negaranya ada populasi masyarakat yang terjebak dalam situasi berbahaya maka Negara dianggap gagal dan berdasarkan prinsip konsep Responbility to Protect tersebut dunia internasional memiliki kewajiban untuk melindungi. Untuk mencegah semakin besarnya korban dalam kondisi tersebut terlebih terdapat pelanggaran HAM didalamnya menurut Jerry, Komunitas Global ataupun Negara yang memiliki kapasitas harus bertindak dan dapat melakukan intervensi militer.

Sebagai Penutup, dalam kasus Extraordinary Crime seperti yang terjadi pada etnis muslim Rohingya di Rakhine Myanmar tersebut diatas jelas bertujuan untuk menghilangkan suatu polpulasi berdasarkan etnis atau agama tertentu. Ini merupakan pelanggaran HAM berat yang berbentuk Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusian sama seperti yang terjadi pada saat suku Tutsi oleh suku Hutu yang memakan korban 800.000 jiwa di republic Rwanda, Afrika Tengah. Tentu saja pencabutan nobel perdamaian bukan puncak hukuman.

Sesuai yurisdiksinya, pimpinan yang bertanggungjawab dan membiarkan terjadinya kejahatan kemanusaiaan dan Genosida ini harus diadili di Peradilan Internasioal sebagaimana penulis sampaikan diatas.

Penulis adalah:  Alumni FH UII Yogyakarta, Mahasiswa Pascasarjana (Magister Hukum) UNTIRTA Banten, Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Kota Cilegon,Kasubag TU UPT Pajak Daerah Wilayah IIII BPKAD Kota Cilegon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun