Hitam itu adalah putih dan putih itu hitam. Selamat akhir pekan kawan. Saya baru saja kembali dari Rawamangun setelah sekian lama tak bersua dengan suasana penuh religi. Untuk kesekian kalinya, mungkin catatan ringan kali ini hanya obrolan warung kopi yang penuh kafein, namun mudah-mudahan cukup nikmat untuk menjadi suluh bagi kita semua. Saya awali catatan hari ini dengan Hitam dan Putih.
Hitam selalu dikonotasikan dengan sesuatu yang kurang baik, sesuatu yang negatif dan buruk namun sebaliknya berlaku untuk putih. Ungkapan negatif seperti Ilmu hitam, hari yang kelam, madesu (masa depan suram) sampai pada gelap mata. Namun tak bisa dipungkiri pula bahwa hitam ini memiliki kekuatan tersendiri, membawa kesan garang dan macho. Mungkin itu sebabnya komunitas motor besar selalu menggunakan segala sesuatu yang serba hitam. Dan saya belum pernah mendengar ada kawanan perampok yang berbusana putih. Hehe...Kurang garang kali ya.
Sebaliknya, putih berada pada sisi lain dari setiap makna hitam. Putih bisa dianggap negasi dari hitam. Putih kerap dikonotasikan dengan bersih, suci, murni. Sesuatu yang bermakna positif. Putih dan hitam diseberangkan oleh definisi yang tampaknya mutlak.
Di Bali, hitam dan putih memiliki makna yang sangat indah. Tentu anda pernah melihat kain papan catur persegi yang kerap kali menghiasi rumah-rumah di bali dan tak sedikit pula yang mengenakan busana hitam-putih disetiap aktifitas adat di Bali. Mereka menyebut ini sebagai kain poleng. Poleng adalah kata dalam bahasa daerah Bali yang bisa diartikan lurik. Hitam dan Putih.
Motif poleng ini sesungguhnya memiliki makna Rwa Bhineda tentang prinsip keseimbangan. Serupa dengan Yin dan Yang. Didalam hitam ada unsur putih dan didalam putih ada unsur hitam. Keduanya bersatu menjaga keseimbangan alam. Pun juga dalam diri manusia, seorang Hindu percaya bahwa manusia memiliki sifat dewata (positif) pun juga sifat raksasa (negatif). Itulah sebabnya, setiap ajaran apapun di dunia yang mengusung kebaikan sesungguhnya adalah untuk membuat porsi yang baik selalu menjadi lebih dari porsi yang kurang baik.
Selain warna hitam dan putih sebagai wujud Rwa Bhineda, ada pula yang disebut dengan Sudamala dan Tridatu. Sudamala memiliki unsur abu-abu (selain hitam dan putih) yang bermakna penyelaras. Bagi saya konsep Rwa Bhineda, Sudamala dan Tridatu (hitam, merah, putih) yang disimbolkan dalam busana poleng (lurik) ini sangatlah indah. Semuanya berbicara dan mengajarkan tentang harmonisasi dalam kehidupan. Namun, berapa banyak dari kita yang paham tentang konsep ini?
Antara Hitam dan Putih
Dalam hidup, harmonis itu adalah keindahan. Dalam kesenian, harmonis itu adalah Wiraga-Wirama-Wirasa. Ada gerak, irama dan rasa yang menyatu disetiap karya cipta sebuah karya yang harmonis. Harmonis itu bukan semata bersatu dan serba sama. Perbedaanpun termasuk unsur yang penting dalam menciptakan harmonisasi. Coba renungkan kalimat terakhir saya itu.
Mungkin saya hanya satu diantara sekian ribu orang yang begitu mendambakan keharmonisan disetiap kehidupan. Karena bagi saya, perbedaan tak akan pernah bisa hilang dari setiap sisi kehidupan dan tampak sekali bahwa harmonisasi itu bukanlah hal yang mengharamkan perbedaan. Mungkin hal ini yang layak kita sadari bersama, menciptakan harmonisasi bukan berarti anda harus mengubah orang lain agar sejalan dengan apa yang anda yakini. Ingatlah bahwa disetiap hitam itu ada putih dan dalam putih pun ada hitam.
Masalahnya hanya satu, ketika perbedaan itu bukanlah barang haram, maka seharusnya kita mengedepankan toleransi. Saya percaya bahwa tidak ada yang tidak baik didunia ini. Semua ciptaan-Nya adalah kebaikan itu sendiri. Ketika menulis ini, saya semakin yakin bahwa kedamaian itu bukanlah barang mahal yang tak bisa "dibeli".
Pesan ringan saya dari obrolan pos ronda ini hanya satu. Hitam dan Putih selalu ada dalam diri kita, tugas kita hanya membuatnya menjadi harmonis karena Rwa Bhineda tak akan bisa hilang dari muka bumi ini. Memahami bahwa apapun yang kita lakukan selalu selaras; Wirama-Wiraga-Wirasa.