Semenjak suhu politik di Bondowoso mulai menghangat, Aura pemilukadaseolah menjadi magnet yang menarik para pengamat politisi, LSM dan Aktivis, konflik gagasan tentang pilkada menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Bahkan konflik seperiti ini seakan menjadi peniscayaan gejala sosial yang tumbuh subur menjelang pilkada, pewacanan siapa layak menjadi pemangku jabatan bupati yang akan datang sudah menjadi isu seksi di warung kopi maupun di akun Group Facebook Komunitas Politisi Muda Bondowoso. Pandangan tiap individu sangatlah plural, dan unik. Perbedaan latar belakang, misalnya pendidikan, lingkungan sosial, keyakinan moral dan religius, serta pandangan-pandangan filosofis tentu saja menjadi sumber lahirnya perspektif berbeda dalam menyoal pemilukada yang kurang lebih tingal satu tahun lagi.
Dalam beberapa hari kedepan, kita bisa menyaksikan bersama sebuah tontonan. Bagaimana para bakal calon pasangan Bupati dan Wakil Bupati,sudah diputuskan dalam rapat pleno ditiap partai. Fotonya terpampang di sebantaran jalan dengan slogan pada dasarnya mengarah pada muara bagaimana masyarakat Bondowoso makmur, sejahtera, aman dll. Kampanye terselubung (pacaran ala siswa SMP) akan mengihiasi Bondowoso selama Kampaye terbuka belum ditetapkan oleh KPU Bondowoso. hal seperti ini merupakan suatu hal lumrah dan tidak melangar konstitusi dalam berdemokrasi.
Namun, yang menjadi persoalan penting adalah bagaimana masyarakat tidak lagi di suguhi kapanye berpola militeristik, sabagaimana makna dari kata kampanye itu sendiri. kata kampanye partama kali digunakan sekiar tahun 1656. Menurut kamus Merriam Webster’s Webster, arti kampaye adalah suatu rentetan oprasi militer yang membentuk tahapan jelas untuk berperang. Dalam makna ini terkandung semacam usaha penyebaran militer. Unsur militeristik ini dilancarkan dalam perang melawan mereka yang diangap sebagai musuh pada massa kampaye terselubung , jika pola kampanye masih memakai gagasan mileteristik semisal,  adu kekuatan fisik antar parpol mencerminkan tindakan kekerasan dan mengintimidasi massa agar memilih calon bupati dan wakil yang mereka usung, tindakan ini akan meretakkan dan memutus hubungan baik antar parpol walau tujuan mereka maksud mengenalkan program dan menarik simpati massa.
Pada tahun 1920 makna kampaye, mengalami pergeseran makna, sebab sorotan dalam kampaye adalah peyebaran sistemik melalui kata-kata dengan selentingan menghina, khususnya pada pasangan calon yang bakal memegang jabatan pemerintah. Belakangan ini kegiatan kampanye acapkali dilukiskan sebagai rentetan kegiatan terencana yang dilaksanakan dalam waktu tertentu untuk mencapai sesuatu, seperti perubahan sosial atau politik, kegiatan ini merupakan sebuah serpihan lipstik mendahului hajatan pemilihan. intrik-intik politik akan terjadi dan tidak menutup kemungkinan adu kekuatan argumentatif untuk mengenalkan program antar parpol yang mengusung bakal calon.
Jika menelisik pada pemilukada diberbagai daerah, masih cukup banyak peserta dan peramai kampaye umumnya melupakan kebaradaan dan cita-cita kampaye yang sudah dirancang di internal parpol. Emosi mereka terseret oleh aneka terikan provokatif hingga luapan amarah tidak bisa mengkontrol emosi massa. Kejadian sangat ironis terjadi pada pemilu tahun 2004 di kepulawan Ra’as Sumenep Madura, keluarga AM dan SM bercerai dikarenakan almamater pesantren mereka berbeda pilihan politik, kiyai di pesanten AM mengusung bakal calon A dan Kiyai SM mendukung calon B, kita sadari bahwa fanatisme masyarakat kita akan kepatuhan pada guru (kiayai) masih luar biasa kentalnya hingga persoalan perbedaan politik bisa menghancurkah bahtera kebahagian pasangan AM dan SM, dan masih banyak kasus lainnya yang terjadi. Parpol masih belum berhasil memberi pendidikan politik secara sehat kepada masyarakat, coblos calon no 1 karena didukung kiaya B, coblos calon no 2 karna didukung pengusaha A, lupakan kualitas calon.
Disinilah letak persoalan super ruwet hingga kecerdasan politik masyarakat terus tertunda. Parpol masih menjadi penyokong tertinggi terhambatnya kecerdasan politik masyarakat, langkah sistemik, terselubung, berkesinambungan, perlahan tapi pasti kondisi demikian menuju kegagalan dalam berdemokrasi. Oleh karena itu parpol hendaknya menyadarkan seluruh jajaran dan jaringannya untuk mengambil sikap tangung jawab atas seluruh program kampanye. Mudah-mudahan meraka yang terlibat dalam kampanye resmi tidak melupakan gagasan kampaye yang sebenarnya, yaitu seatu kampanye tidak berpandangan kekerasan, fanatisme karena ada tokoh A mengusungnya, tetapi kampaye yang berasaskan kehendak baik dan kejujuran. Hingga masyarakat bisa mencerna program secara cerdas dan menetukan pilihan secara cerdas pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H