Ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, harapan besar muncul akan pembaruan yang dijanjikan. Salah satu langkah pertama mereka adalah membentuk kabinet yang disebut "Merah Putih".Â
Namun, bukan hanya nama yang berubah, tetapi jumlah kementerian pun meningkat secara drastis, menandakan strategi politik baru yang mencerminkan komitmen mereka untuk stabilitas koalisi. Meski langkah ini memicu perdebatan, pemerintah baru tetap melangkah maju dengan yakin. Sebagian pihak menyebut ini sebagai langkah inovatif, sementara yang lain mengkhawatirkan risiko ketidakefisienan birokrasi.
Kabinet Prabowo-Gibran memuat lebih banyak kementerian dibandingkan era Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Komposisi ini mencakup kader partai politik dari koalisi besar, termasuk partai parlemen seperti Gerindra, Golkar, dan Demokrat, serta partai non-parlemen seperti PSI dan Gelora. Struktur ini digambarkan seperti teka-teki yang disusun untuk mencakup berbagai kepentingan.Â
Di satu sisi, jumlah kementerian yang lebih banyak memungkinkan perhatian lebih spesifik terhadap isu-isu seperti ekonomi hijau dan digitalisasi. Namun, di sisi lain, struktur yang gemuk ini memunculkan kekhawatiran akan tumpang tindih wewenang, seperti dua tim yang saling berlari ke arah berbeda tanpa koordinasi.
Sebagai contoh konkret, kementerian yang baru dibentuk, seperti Kementerian Transformasi Digital, memiliki misi untuk mempercepat digitalisasi di sektor pemerintahan dan swasta. Inisiatif ini menunjukkan kesadaran kabinet baru terhadap kebutuhan modernisasi.Â
Namun, di sisi lain, adanya tumpang tindih tugas dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang sudah ada sebelumnya menunjukkan potensi kebingungan dalam implementasi kebijakan.Â
Contoh lain adalah pemisahan Kementerian Pendidikan menjadi dua entitas yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Kementerian Pendidikan Tinggi. Meskipun hal ini memberikan fokus yang lebih tajam, potensi benturan kebijakan di antara keduanya tetap menjadi ancaman.
Bayangkan sebuah kapal besar yang ingin mempercepat perjalanan dengan menambah lebih banyak awak kapal. Di satu sisi, lebih banyak awak berarti tugas-tugas dapat didistribusikan dengan lebih efisien.Â
Namun, tanpa komando yang jelas, awak kapal bisa saling tumpang tindih dalam melaksanakan tugas, yang justru memperlambat laju kapal. Kabinet Prabowo-Gibran menghadapi tantangan serupa. Jumlah kementerian yang lebih banyak mirip dengan penambahan awak di kapal, yang jika tidak terkoordinasi dengan baik, berisiko menciptakan kekacauan birokrasi daripada efisiensi.
Peningkatan jumlah kementerian di era Prabowo-Gibran menunjukkan ambisi pemerintah untuk merespons tantangan-tantangan baru. Namun, seperti membangun gedung bertingkat tinggi, fondasi koordinasi yang kuat harus menjadi prioritas.Â
Jika tidak, perubahan ini justru akan menjadi beban yang memperlambat pembangunan, alih-alih mendukungnya. Pemerintah baru perlu membuktikan bahwa struktur kabinet yang lebih gemuk dapat berfungsi sebagai mesin yang efisien, bukan sebagai beban tambahan bagi birokrasi dan anggaran negara.