Mohon tunggu...
Nicholas
Nicholas Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Matematika

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meneropong Kurikulum Merdeka: Fleksibilitas dan Realita di Lapangan

7 November 2024   21:15 Diperbarui: 7 November 2024   21:33 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2022, pendidikan Indonesia memasuki babak baru dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka di sekolah-sekolah. Kurikulum ini lahir dari visi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim. Melalui kurikulum ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan memberikan kebebasan lebih besar bagi sekolah untuk menentukan cara belajar yang paling sesuai bagi para siswa. Kurikulum Merdeka berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi yang krusial untuk menghadapi dunia yang terus berkembang di era digital. Namun, seiring dengan implementasinya, tantangan baru muncul, terutama dalam menyeimbangkan kebebasan belajar dengan pencapaian standar pendidikan nasional.

Kurikulum Merdeka bukan sekadar sistem pembelajaran. Kurikulum tersebut adalah cerminan dari cita-cita besar pendidikan Indonesia untuk menciptakan siswa yang mampu berpikir kritis, berkolaborasi, dan berinovasi. Dalam kurikulum ini, setiap pembelajaran diharapkan menjadi petualangan baru dengan harapan siswa dapat belajar dari lingkungan sekitarnya, mengembangkan diri sesuai bakat dan minat masing-masing, dan menemukan cara belajar yang sesuai bagi mereka. Guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga merancang pengalaman belajar yang interaktif dan relevan dengan kebutuhan dunia modern. Sekolah menjadi tempat yang hidup, di mana setiap siswa diberi kesempatan untuk tumbuh sesuai potensinya.

Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum 2013 (K13), Kurikulum Merdeka menonjolkan fleksibilitas yang lebih tinggi. Di dalam K13, kurikulum bersifat lebih terstruktur dengan fokus pada evaluasi melalui ujian dan penilaian berbasis tes. K13 juga memastikan bahwa siswa di seluruh Indonesia mendapatkan materi yang seragam dan standarisasi yang kuat. Kurikulum Merdeka, sebaliknya, memungkinkan sekolah dan guru untuk menyesuaikan metode dan materi belajar sesuai dengan kebutuhan siswa mereka. Walaupun pendekatan ini memberi ruang bagi kreativitas dan inovasi, fleksibilitas yang terlalu luas juga menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas dan keseragaman pembelajaran, terutama di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bayangkan ruang kelas yang kini tidak lagi sekadar diisi dengan barisan meja dan kursi di dalam ruangan, namun meluas hingga ke luar ruangan. Para siswa bisa saja diajak ke taman untuk memahami ekosistem, mengunjungi pameran seni untuk belajar tentang budaya, atau berpartisipasi dalam proyek sosial untuk memahami empati dan keterampilan hidup. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi; mereka kini berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa menemukan jawaban melalui eksperimen, diskusi kelompok, atau proyek mandiri. Dengan cara ini, Kurikulum Merdeka mencoba menghidupkan pengalaman belajar, menjadikannya lebih relevan dengan kehidupan nyata.

Contohnya, di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta, seorang guru fisika menerapkan metode pembelajaran mandiri untuk topik tentang mekanika. Siswa diberikan kebebasan memilih apakah ingin mempelajari materi melalui simulasi komputer atau membuat model sederhana sebagai praktik langsung. Mereka bahkan dapat bekerja dalam kelompok kecil untuk membedah konsep-konsep sulit bersama-sama. Di sisi lain, guru seni budaya mengajak siswa-siswinya untuk mengeksplorasi budaya daerah dengan mengadakan kunjungan langsung ke sanggar seni lokal. Dengan kebebasan seperti ini, siswa-siswa yang memiliki ketertarikan spesifik dapat mengekspresikan minat mereka sambil tetap belajar sesuai kurikulum. Namun, dengan penerapan ini juga muncul tantangan-tantangan baru. Di daerah terpencil, misalnya, ketiadaan akses internet dan perangkat digital mempersulit guru dalam memberikan pengalaman belajar mandiri berbasis teknologi, yang menjadi salah satu ciri khas dari kurikulum ini. Di sebuah sekolah di pedalaman Sulawesi, para guru menghadapi kesulitan menyediakan metode pembelajaran inovatif, sehingga siswa terpaksa belajar dengan cara konvensional tanpa dukungan praktis seperti yang diharapkan. Sebaliknya, di sekolah-sekolah di kota besar, muncul keluhan dari siswa dan orang tua tentang transisi yang tidak mudah menuju model belajar mandiri, yang memerlukan inisiatif lebih dari siswa. Banyak siswa merasa kurang terarah dan kewalahan, terutama mereka yang belum terbiasa belajar tanpa bimbingan ketat. Sementara itu, sekolah-sekolah dengan infrastruktur memadai di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, lebih berhasil menerapkan proyek-proyek berbasis praktik yang inovatif, meskipun tetap menghadapi tantangan, terutama dalam memberikan pendampingan kepada siswa yang memerlukan adaptasi lebih lama. Kondisi ini menunjukkan bahwa penerapan Kurikulum Merdeka sangat dipengaruhi oleh kesiapan infrastruktur dan daya adaptasi yang beragam di setiap daerah di Indonesia.

Meskipun tujuan Kurikulum Merdeka tampak menjanjikan, dalam penerapannya di lapangan, fleksibilitas ini juga menjadi tantangan besar. Terlalu banyaknya kebebasan membuat sebagian siswa menjadi kurang disiplin dalam proses belajar. Mereka yang niat dalam belajar dapat memanfaatkan keleluasaan untuk belajar lebih mandiri, tetapi ada juga siswa yang  justru memilih untuk menghindari tantangan dan hanya mengikuti pelajaran yang terasa lebih mudah. Bagi sekolah-sekolah di daerah dengan keterbatasan sumber daya, kebebasan ini pun berpotensi menjadi pedang bermata dua, terutama ketika guru kurang siap dalam menyusun dan melaksanakan metode pembelajaran baru yang sesuai. Akibatnya, ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia berpotensi semakin melebar.

Seperti pisau yang tajam yang dapat melukai bila tak digunakan dengan hati-hati, Kurikulum Merdeka adalah alat yang berdaya guna tetapi memiliki risiko. Ketika diberikan kepada siswa yang matang dan didampingi guru yang kompeten, kurikulum ini dapat menghasilkan generasi muda yang mandiri, kreatif, dan siap menghadapi tantangan global. Namun, di tangan yang kurang siap, fleksibilitas ini bisa menjadi alat yang berbahaya, menyebabkan siswa kurang disiplin dan gagal memenuhi standar pendidikan yang dibutuhkan. Keleluasaan ini membutuhkan tanggung jawab dari semua pihak, termasuk siswa, guru, dan seluruh pihak sekolah manapun, agar manfaat yang diharapkan benar-benar bisa dicapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun