Menikmati euforia modernisasi boleh saja, tapi ‘jas merah’, dong. Alias, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
MENYANDANG usia kepala empat dan hidup di era digital sekarang ini, jujur, saya bukanlah termasuk orang yang gadget freak, digital freak, dan modern freak. Pokoknya tidak ‘kekinian freak’. Jika dibandingkan dengan anak saya yang masih kelas 8, wawasan digital saya jelas kalah. “Bapak kurang gaul, ah!” katanya kalau melihat saya tergagap-gagap dengan telepon pintar yang saya pegang—dalam hal tertentu.
Namun tentu saja bukan berarti saya tertinggal dalam hal teknologi informasi. Dalam berbagai urusan saya tetap menggunakan benda-benda yang biasa dipakai sebagai ukuran modernisasi itu—internet, sosial media, smartphone, dan komputer tablet. Sekadar mengikuti perkembangan zaman. Meski ‘orang dulu’, saya juga kenal (dan cukup menguasai) berbagai peranti masa kini, kok.
Yang disesalkan adalah kalau kita menikmati euforia hidup di masa kini tapi melupakan sejarah perjalanan masa lalu. Kata nenek, bisa kualat!
GAWATNYA, tanda-tanda “lupa diri” itu sudah mulai terlihat. Beberapa bulan lalu, hal tersebut menjadi topik obrolan seru ketika saya berkunjung ke rumah seorang kerabat di Bandung. Di tengah menemani istri dan saudara-saudaranya late night shopping di sebuah mal besar di sana, salah seorang ipar menyentil, “Iseng saja, coba tanyakan ke anak-anak muda di sana, tahukah mereka di mana titik nol kilometer Bandung?”
Saya tertegun juga ketika pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh lima anak muda masa kini itu. Dan saya lebih tertegun lagi ketika tahu bahwa mereka ternyata lahir di Bandung! Saya melempar senyum kecut kepada ipar saya, dan ia membalas dengan senyum pedih. Beginikah gambaran generasi masa kini yang cenderung mengabaikan warisan sejarah? Butuh penelitian lebih lanjut, memang. Tapi pertanda tersebut tak bisa dianggap sepele.
TITIK Nol Kilometer adalah sebuah titik yang menjadi patokan penentuan jarak sebuah daerah dengan daerah lain. Titik nol kilometer Kota Bandung—mungkin ini yang membuat banyak orang tidak tahu—ada di dalam Gedung PLN, Jl. Asia Afrika. Di titik inilah, pada tahun 1811, Adipati Wiranatakusumah II menancapkan tongkat kayunya ke dalam tanah, yang menyebabkan munculnya pancaran air tanpa henti.
Mata air tersebut akhirnya dibuat sumur, yang sekarang dikenal dengan nama Bale Sumur Bandung, dan kini menjadi tempat wisata bersejarah. Sumur inilah yang kemudian ditentukan menjadi Titik Nol Kilometer Kota Bandung. Salah satu keistimewaan sumur ini, airnya sangat jernih dan tak pernah kering meski di musim kemarau.
“INI pertanda buruk,” kata ipar saya. “Sebagaimana fungsinya sebagai titik awal pengukuran, dan karena titik nol kilometer berkaitan dengan sejarah, maka titik nol juga bisa memiliki makna sebagai titik awal pengukuran sikap kita terhadap nilai-nilai leluhur. Jika kita tidak tahu dan peduli pada titik nol, artinya penghargaan kita kepada warisan dan budaya leluhur pun bisa dibilang meragukan.
Ia melanjutkan, “Titik nol adalah titik netral di antara angka-angka negatif dan angka-angka positif. Artinya, dengan tahu posisi titik nol, maka kita akan lebih mudah menentukan arah langkah kita—negatif atau positif.”
Saya mengangguk-angguk sambil terbersit kejahilan saya.