Seks: Dari Tabu Menuju Hegemoni
Tak dapat dipungkiri bahwa bagi Bangsa kita, Indonesia, persoalan seks merupakan masalah kamar tidur yang tabu untuk diangkat. Pembicaraan tentang seks yang terbuka bahkan frontal bukan merupakan bagian budaya yang terwariskan. Meskipun demikian, arus globalisasi yang menjalar begitu cepat merubah hal yang dianggap tabu dalam budaya timur ini menjadi hal yang biasa-biasa saja sesuai dengan pola pikir budaya barat.
Banyak kalangan juga menyadari bahwa seks merupakan bagian dari kekuatan utama yang mendominasi. Sumbernya adalah kapitalisme dengan tangan kanan liberalisme. Libelarisme yang sering didewakan oleh anak muda inilah yang telah menjadi hegemoni bagi tatanan budaya kita. Paham-paham liberal kian menjajah dan mencecoki pola pikir anak bangsa dengan produk-produk budaya yang dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai sosial karena terlalu terpusat pada spirit kebebasan individual. Bangsa ini seakan-akan terinfiltrasi oleh imperialisme budaya yang menyeret masyarakat ke konsumtifme dan kebebasan tanpa batas.
Sesungguhnya tanpa disadari, anak bangsa tengah dikepung oleh media dan sajian internet yang begitu bebas. Kebebasan ini seringkali disalahgunakan bukan hanya karena keingintahuan yang belum terpuaskan, melainkan juga hampir tidak adanya kungkungan yang begitu mengikat secara moral dari budaya sendiri. Akibatnya, segala keterbukaan adalah lumrah bahkan akses ke situs-situs porno pun terbuka lebar. Hal ini mengarah pada gaya hidup serba bebas dan meminggirkan budaya timur yang menjaga hubungan kasih sayang yang sakral dalam ruang transenden. Dalam konteks ini, hegemoni budaya seks menjadi penting untuk dikritisi sebagai suatu dominasi yang telah merasuki warisan budaya kita.
Seks: Konsumen Online
Ketika membicarakan seks dan erotisme, dan kemudian diwacanakan atau hemat penulis dikompori oleh media massa, maka seks menjadi teks yang memantik kegairahan siapa pun untuk menanggapinya. Beberapa media massa cetak dan elektronik saat ini pun banyak mengabaikan sisi-sisi moralitas dan seakan mendukung kebebasan seks yang sangat membahayakan pola pikir dan gaya hidup anak bangsa dengan "memberhalakan" kebebasan berekspresi termasuk seks bebas. Seks yang dianggap sebagai kebebasan membuat orang akan bertindak sesukanya.
Cara pandang terhadap seks pun tentu akan berubah dalam pengekspresiannya. Mungkin saja seks akan dianggap seni dalam berkarya. Seni yang dipertontonkan khalayak banyak, bahkan karya-karya mereka yang berbau porno telah ikut melengkapi situs-situs porno dan media sosial yang kini menjamur di internet. Cara pandang ini kemudian akan bergerak sesuai dengan alur yang tidak semestinya: video porno yang diperjualbelikan. Kekhawatian ini bahkan sudah nyata dalam dunia barat dan kini telah merasuki perlahan dalam budaya timur.
Berkaitan dengan hal itu, sekarang ini merupakan suatu masa ketika teknologi informasi seakan telah menjadi sarana penyebar racun kebebasan seks yang potensial. Racun itu memorakporandakan moralitas bangsa dan ini seakan mendapat sokongan dari media massa. Kenyataan pun menunjukkan bahwa dulu televisi kita ikut memproduksi tayangan pemanja syahwat. Meskipun hal itu sudah dibatasi sekarang ini, namun tidak benar-benar hilang. Semuanya kini teralirkan dalam media online. Seiring dengan arus informasi yang deras melalui internet, muncullah eksposure pada media online ini. Isu-isu tentang seks sudah menjadi konsumen dunia maya dengan kemunculan video-video maupun foto-foto milik sejumlah public figure. Dapat dikatakan bahwa seks dan erotisme seakan dipaksakan untuk masuk dalam mindset kita dan mengatur gaya hidup kita.
Seks Bebas dalam Komunitas Online
Teknologi digital memang telah mengubah wajah peradaban manusia. Akses informasi juga tidak lagi dimonopoli oleh segelintir redaktur media massa, namun setiap individu dapat menguasai informasi dan menyebarkan informasi itu ke publik. Individu-individu yang menguasai informasi itu pada akhirnya membentuk suatu kelompok masyarakat tertentu dan menciptakan budaya mereka sendiri yang dianggap biasa oleh kelompok tersebut.
Setiap kelompok memiliki budaya tersendiri yang membedakannya dari komunitas lain. Contohnya, kelompok gay yang memiliki budaya berbeda dengan kelompok heteroseksual, juga kelompok alay pastinya berbeda dengan budaya kelompok lanjut usia. Perbedaan-perbedaan tertentu di antara kelompok-kelompok tersebut merupakan ciri yang membedakannya dengan kelompok lain. Perbedaan itu dikarenakan masing-masing kelompok memiliki budaya tertentu yang tercermin melalui gaya hidup yang dianut oleh setiap anggota kelompok. Budaya yang mencirikan komunitas tersebut terrepresentasi melalui cara berperilaku dan berbahasa individu di dalam ruang lingkup komunitas itu. Maka dengan adanya internet, komunikasi di antara kelompok-kelompok itu menjadi lebih nyata dibicarakan dan dilakukan di dunia maya. Dunia maya bukan saja meniadakan batas-batas social presence namun juga nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi.