Mohon tunggu...
Hyashinta Pratiwi
Hyashinta Pratiwi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2011

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Analisis Kritis: Menyorot Siluet Perempuan di Balik Film Horor

9 Januari 2014   12:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menyorot Siluet Perempuan di Balik Film Horor

Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi

Film merupakan salah satu hasil karya seni manusia dan berkembang di Indonesia sejak tahun 1426 pada zaman Belanda. Di Indonesia pun diperingari Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada 30 Maret 1950 merupakan hari pertama pengambilan gambar film lokal pertama berjudul Darah & Do’ayang bercirikan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia serta diproduksi dari perusahaan film milik orang Indonesia asli.

Melalui sebuah film dapat didapatkan gambaran keadaan suatu negara pembuat film maupun karakter suatu bangsa. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pembuatan film yang biasanya dari pengalaman atau persepsi terhadap lingkunganya. Di Indonesia, film horor merupakan jenis film yang banyak diproduksi. Pocong, kuntilanak, suster ngesot, dan hantu lainnya menjadi tokoh dalam film horor yang tidak asing lagi.

Masalah yang terjadi di industri film horor Indonesia adalah menyangkut kualitas. Banyak film horor yang lebih menonjolkan sensasional dengan adegan syur maupun keseksian perempuan tanpa mempertimbangkan kualitas. Dapat dilihat bahwa konsumen film di Indonesia masih melihat film sebagai media hiburan semata tanpa adanya sikap kritis. Hal ini membuat perfilman Indonesia terkesan monoton dan kurang berkualitas.

Sejak awal 2010 hingga sekarang ini telah ada beberapa judul film horor yang  ditujukan untuk penonton dewasa seperti film Hantu Puncak Datang Bulan, Hantu Jembatan Semanggi, Arisan Brondong, Tiren, Suster Keramas, Diperkosa Selan, Air Terjun Pengantin, dan lain-lain. Bila dicermati, kebanyakan hantu dalam film horor Indonesia identik dengan perempuan. Tentu menjadi sebuah tanda tanya, mengapa hal ini terjadi? Sesuai judul tulisan ini, perlunya memandang perempuan dari perspektif yang berbeda atau perspektif yang lebih kritis diharapkan dapat menjawab pertanyaan tersebut. Tidak hanya melihat perempuan dari permukaan biasa tetapi membahas perempuan dari siluetnya, artinya lebih dalam, kritis, dan tersembunyi.

Sering terlihat dalam cover maupun adegan film, pose yang memperlihatkan keseksian kaum hawa. Hal ini dapat dijumpai pada cover film Air Terjun Pengantin dimana para pemain perempuannya tampil dengan baju agak terbuka. Hal ini menjadi gambaran bahwa baju seksi dengan belahan dada dan serba minim menjadi daya jual tersendiri yang menguntungkan produser. Ditambah lagi adanya bumbu-bumbu film berupa adegan panas yang turut menambah daya tarik film dan minat konsumen untuk menonton. Hal ini mengakibatkan tidak terhindarkannya eksploitasi terhadap perempuan. Walaupun perempuan juga sudah ikut bekerja di industra media, hal ini tidak menjamin mereka dapat memperjuangkan hak dan menghapuskan eksploitasi yang terjadi di film-film terhadap perempuan.

Melihat perempuan dalam film horor Indonesia juga tidak bisa lepas dari penindasan gender. Ritzer (2008:502) menyatakan bahwa teori penindasan gender menggambarkan situasi yang dihadapi perempuan sebagai konsekuensi dari hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memiliki kepentingan fundamental dan konkret untuk mengontrol, memanfaatkan, dan menindas perempuan. Inilah yang disebut sebagai praktek dominasi. Praktek dominasi menampilkan segala macam hubungan dimana satu pihak yaitu pihak dominan, berhasil menjadikan pihak lain yaitu pihak subordinat, sebagai instrumen keinginannya dan menolak mengakui kemandirian pihak subordinat. Pola penindasan gender ini melekat pada cara pengaturan masyarakat yang terdalam dan saling menyeluruh, penataan dominasi yang umumnya disebut dengan patriarki. Patriarki adalah penataan kekuasaan primer yang dilestarikan oleh kehendak yang kuat. Penindasan gender dan ketimpangan gender merupakan produk dari patriarki itu sendiri.

Salah satu varian utama dari teori penindasan gender adalah feminisme psikoanalitis. Teoritisi psikoanalitis melihat patriarki sebagai sistem di mana laki-laki menundukkan perempuan, sistem yang secara universal begitu kuat, berlangsung melintasi ruang dan waktu, dan cepat menyesuaikan diri ketika menghadapi tantangan. Namun, yang menjadi ciri khas dari feminisme psikoanalitis adalah pandangan bahwa patriarki adalah sistem yang diciptakan dan dipertahankan laki-laki dalam tindakannya di kehidupan sehari-hari. (Ritzer, 2008:503)

Indonesia merupakan negara yang masih kental dengan ideologi patriarki. Jalan cerita dengan latar belakang pembunuhan atau pemerkosaan sudah tidak asing lagi bahkan bisa ditebak atau diprediksi. Alur cerita film horor pun sebenarnya membentuk pola yang sama yaitu perempuan diperkosa lalu dibunuh dan kemudian menjadi hantu, dilanjutkan dengan sang hantu yang menuntut balas terhadap laki-laki yang memperkosanya, dan diakhiri dengan ritual membuat sang hantu  kembali ke jalan yang benar oleh seorang kyai atau tokoh agama. Pola ini seakan-akan menampilkan sosok wanita yang jahat ditambah lagi orang menunjukkan jalan kebenaran kepada sang hantu adalah laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa patriarkial masih kental. Dengan kata lain, melalui sebuah film konstruksi masyarakat tentang perempuan dibangun dan ideologi patriarki dilanggengkan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi juga terkait secara erat dengan kapitalisme patriarkis (Fiske, 2012:172). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan didukung terjadinya globalisasi, perubahan-perubahan pun tak terelakkan. Pengaruh globaliasi sendiri menyangkut hal-hal sepele sampai besar, mulai dari pakaian atau busana saja. Baju minim yang merupakan pengaruh dari barat menjadi bumbu dalam film horor untuk menghasilkan pundi-pundi lebih.

Dalam film politik gender turut aktif seperti halnya pada politik kelas. Di dalam film horor sering digambarkan sosok perempuan yang lemah baik secara fisik maupun mental. Konstruksi bahwa perempuan lemah terlihat dalam film Santet Kuntilanak (2012 )dimana perempuan tidak berdaya ketika teman-teman laki-lakinya menjebaknya di sebuah villa dan berencana untuk memperkosanya. Oleh karena itu, film mampu mendramatisasi kekuasaan yang berhak melakukan kekerasan atau kejahatan dan siapa yang tidak berhak, dalam kasus ini adalah pemerkosaan.

Gambaran bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki tidak ada kaitannya dengan perbedaan-perbedaan bawaan alamiah antara laki-laki dan perempuan, namun lebih merupakan bagian dari sosial sehingga bersifat ideologis, perbedaan antara maskulinitas dan feminitas. Sementara ideologi sendiri adalah sebuah jalan untuk melakukan pemaknaan (membuat sesuatu masuk akal), makna yang dibuat selalu memiliki dimensi sosial dan politik.

Di dalam film Indonesia khususnya horor sering dijumpai adegan dimana ada laki-laki yang menggoda perempuan. Anggapan bahwa laki-laki adalah perayu dan perempuan adalah yang dirayu sebagai sesuatu yang ‘masuk akal’ adalah sebuah praktek patriarki. Hal ini merupakan hal kecil dimana secara tidak sadar kita mengamini budaya patriarki. Persetujuan kita terhadap sebuah ideologi memang merupakan suatu hal yang terlihat ‘normal’ dan ‘alami’ atau wajar bagi masyarakat.

Budaya media pun mampu menunjukkan siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak berkuasa (Kellner ,1955:2).Film dan sinema telah menjadi industri budaya sehingga mampu membentuk konsep berpikir orang yang menontonnya. Film mampu menunjukkan siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak berkuasa. Secara tidak langsung film dapat memberikan gambaran atau alur berpikir tentang bagaimana konsep perempuan dan laki-laki.

Dalam film Santet Kuntilanak, diceritakan bahwa ternyata dalang dari pembunuhan janggal yang terjadi adalah seorang perempuan yang mempunyai kemampuan untuk menyantet. Di akhir adegan juga ditampilkan sosok perempuan yang membunuh seorang laki-laki dengan ganas menggunakan benda tajam. Padahal bila dicermati pihak yang berselingkuh maupun yang berniat memperkosa adalah laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa film dapat mendramatisasi siapa yang baik dan siapa yang jahat.

Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah mengenai adegan mengintip pada film horror Indonesia. Dalam film Air Terjun Pengantin dapat dilihat  adegan beberapa cewek yang sedang mandi dan seorang cowok yang mengintip. Diperlihatkan bagaimana satu per satu baju dilepas tanpa menyorot bagian sensitif perempuan. Empat cewek yang mandi bersama ini menggunakan shower untuk mandi. Timbullah pikiran nakal dari teman cowok mereka yang sudah diperingatkan untuk pergi tetapi ternyata memutuskan untuk mengintip teman-teman ceweknya mandi. Sialnya, ponsel si cowok tersebut berdering sehingga teman-teman ceweknya tahu kalau mereka diintip. Setelah ketahuan, si cowok keluar dan melakukan masturbasi.

Film lain yang juga menggunakan konsep adegan mengintip adalah Hantu Puncak Datang Bulan. Ada seorang cowok yang sudah mempunyai pacar, tetapi dia mengintip cewek lain dan ketahuan pacarnya. Di dalam film diceritakan bahwa si cowok meninggal karena kesetrum. Setelah meninggal, cowok tersebut menjadi pocong. Anehnya walaupun sudah meninggal dan menjadi pocong, ia tetap masih suka mengintip cewek mandi atau cewek yang sedang di toilet. Akhirnya dia menjadi pocong pengintip.

Adegan mengintip dapat dianalisis menggunakan voyeurisme. Voyeurisme adalah sebuh penyimpangan seksual yang disebut skopofilia atau inspeksionisme. Voyeurisme sendiri berasal dari kata voyeur yang berarti mengintip atau mengintai. Voyeurisme ini merupakan gejala pada sesorang yang mendapatkan kepuasan seks dengan jalan diam-diam melihat orang telanjang melalui lubang angin, lubang kunci, dan sebagainya. Hal lain yang mungkin dilakukan adalah dengan sengaja membuat lubang di tembok, pintu WC, kamar ganti pakaian, dan lain-lain untuk mengintip orang telanjang atau bersetubuh. Sering kali penderita membuat lubang-lubang tersebut di kamar tidur untuk mengintip istrinya bersetubuh dengan pria lain. Dengan demikian ia mendapatkan kepuasan seks. Tukang-tukang intip masuk dalam kategori ini dan mungkin juga orang yang melakukan masturbasi pada waktu atau setelah memandang. Kepopuleran pertunjukkan tari telanjang dan gambar-gambar porno menunjukkan tersebarnya kebutuhan-kebutuhan veyourisme. Perbandingan voyeurisme antara pria dan wanita sangat besar yaitu 9:1. (Semium, 2006:50)

Sekilas adegan mengintip terlihat basa saja, namun dibalik itu semua ada ideologi yang terbentuk. Secara tidak langsung perempuan ‘diperkosa’ dengan menampilkan adegan seksi saat mandi dan saat perempuan diintip. Pernahkan Anda melihat adegan dimana ada sekumpulan cowok mandi dan ada seorang cewek yang mngintip? Jika adegan ini dibalik, tentu akan menjadi berbeda penilaiannya. Hal yang wajar dan tidak wajar terbentuk. Menjadi hal yang tidak wajar ketika cewek mengintip cowok mandi. Jadi, film dapat menunjukkan siapa yang wajar untuk melakukan sesuatu dan siapa yang tidak wajar untuk melakukan sesuatu.

Industri perfilman juga tak lepas dari kapitalisme. Dalam bukunya, Ritzer (2008:63) mendukung pendapat Marx bahwa kapital merupakan relasi sosial tertentu. Artinya uang hanya akan menjadi kapital karena adanya relasi sosial antara proletariat yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang menginvestasikan uangnya. Kapital tidak bisa meningkat keculai dengan mengeksploitasi orang-orang yang bekerja secara aktual. Eksploitasi merupakan suatu bagian penting dari ekonomi kapitalis.

Musuh perempuan sebenarnya bukanlah laki-laki melainkan kapitalisme itu sendiri. Dengan adanya kapitalisme, perempuan diekploitasi oleh media atau ruang publik. Bagaimana industri perfilman menggunakan perempuan untuk mendapatkan keuntungan lebih dan orang yang bekerja di media sendiri tidak bisa menolak sistem ini. Perempuan yang dieksploitasi atau ‘diperkosa’ secara tidak langsung dengan adegan maupun alur cerita yang patriarkial sendiri malah terkadang menikmati. Pemeran tokoh-tokoh seksi dalam film horor malah terkesan bangga dengan pemikiran ia memiliki nilai lebih dengan menampilkan adegan vulgar. Inilah bentuk kesadaran palsu yang timbul dimana perempuan merasa harus memuaskan mata laki-laki dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan justru merasa senang melakukannya. Masyarakat pun menerimanya dengan mudah.

Dalam menghadapin praktek patriarki, perempuan memang jarang mampu melawan. Mereka justru menjalaninya atau secara aktif bekerja agar mereka tetap subordinasi. Sebagian perempuan di industri media atau industri film menyadari hal ini namun terkesan tidak peduli dengan adanya diskriminasi atas perempuan dalam setiap adegan yang mereka tampilkan. Oleh karena itu, sikap kritis harus dikembangkan di negeri ini.

Fiske, John (1990). Introduction to Communication Studies, 2nd ed. London, Routledge.

Kellner, Douglas (1955). Media Culture. Lonon, Routledge.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2008). Teori Sosiologi. Yogyakarta, Kreasi Wacana Yogyakarta.

Semium, Yustinus, OFM (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta, Kanisius.

BIODATA:

Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi lahir dari pasangan Albertus Dwiono dan Christina Tri Eni Handayani di Semarang pada tanggal 5 Desember 1992. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif Ilmu Komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan konsentrasi studi Jurnalisme dan Kajian Media. Persembahan kepada bapak, ibu, Olga Vivaci Diana Onen Supraba, Dorothy Gracia Onen Swastika, dan Gabriel Gaetano Onen Baskara selaku keluarga tercinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun