It took me some days after celebrating the death of Alfred Wallace a month ago, to plan my death in Indonesia, one of his greatest legacy. I already have cancer in my body and I think I already live at the fullest, so nothing to lose right? A few moments before I wrote this note, I decided to broke the bus radiator so I can stop in the middle of nowhere in this forest to end my life peacefully. Good luck surviving, or just choose to follow my path since death is not a bad choice at all.
Kami terhenyak setelah mendengar Prita membaca catatan kematian Fred. Air muka kami serentak berubah tegang. Semua yang semula masih bisa berusaha tenang menjadi berang, termasuk Lukman yang tadi memotivasi kini malah pucat pasi.
Lima belas menit setelah terdampar, semua manusia terlihat seperti anjing yang saling menyalak untuk bertahan hidup. Lukman dan Prita saling membentak tepat di depan Kevin, anaknya yang terus menangis. Sementara Kanaya terisak sambil menyalahkan kakak kelasnya, Anggi, yang mengajak ia ke hutan gelap ini. Sementara Pak Her, supir senior yang aku pikir bisa kuandalkan mendadak terus mengeluh sambil memegang dadanya yang sakit. Aku bukannya tidak panik, tentu saja aku panik, namun sepertinya saat ini hanya aku yang bisa berpikiran normal untuk mengeluarkan mereka semua dari bencana ini.
"Aku membutuhkan semua barang yang kalian miliki untuk dikumpulkan di tengah dan kita lihat apa yang dapat kita gunakan untuk keluar dari masalah ini."
Perlahan mereka menumpahkan isi tas mereka dengan raut muka yang masih tidak mengenakkan. Namun aku tidak peduli, keselamatan kami semua adalah prioritas utama, waktu akan habis bila memikirkan perasaan mereka. Aku pastikan kepada mereka aku akan berlaku adil, dan meminta maaf atas semua kejadian ini. Sepertinya sosokku yang mau bertanggung jawab mulai dapat menenangkan mereka secara perlahan.
Aku membagi coklat milik Anggi untuk semua orang secara merata. Anti-depressant dan rasa manis pada coklat cukup untuk membuat mereka kembali rileks sembari mengisi energi yang terkuras. Setelah itu aku mulai menelepon Rico, sang penjaga pondok untuk menjemput dengan motornya dan Andi temanku yang rela membawa mobilnya masuk ke dalam hutan. Setelah itu, aku izin keluar mencari perbekalan milik Fred yang mungkin terjatuh dan menugaskan mereka tetap di dalam bis dengan syarat saling menjaga satu sama lain.
Beberapa menit berjalan aku mendengar suara melengking, dan ternyata itu berasal dari Rico yang meniup pluit milik Fred. Dapat kulihat mukanya pucat pasi saat melihat Fred tergeletak tak berdaya.
"Pria ini sudah tidak bernyawa, apa yang harus kita lakukan? Hei bagaimana ini? Apa kita akan dituntut?" Cecar Rico panik. Aku pun menjelaskan mengenai catatan kematiannya, dan ia sontak menjadi sangat kesal. Ia segera mengambil barang-barang milik Fred dan kami melakukan penguburan singkat untuk menghormati jasadnya.
Kudengar sorakan saat aku kembali bersama Rico ke lokasi minibus berada. Aku sudah memperhitungkan semuanya dan sepertinya dengan beberapa perjalanan motor dan satu mobil yang akan datang dapat menyelamatkan kami semua. Namun ternyata aku salah, aku lupa pada petuah lama yang berkata manusia akan mengeluarkan sifat aslinya saat terancam nyawanya.
Lukman tiba-tiba menyeruak keluar dari bis dan meminta Rico mengantarnya terlebih dahulu. Aku yang sudah berencana membawa Pak Her atau Anggi yang sedang terkilir, mendadak murka. Bagaimana bisa ia meninggalkan istri dan anaknya yang sedang sakit demi kepentingannya sendiri. Namun kenyataan berkata lain, ia mengancam akan menuntut aku dan semua orang yang ada karena telah membahayakan nyawanya.