Aku yang benar-benar muak melihatnya berusaha tenang dan meminta ia untuk setidaknya meninggalkan ponselnya yang masih memiliki baterai sekitar 70%. Ia segera melempar ponselnya ke arahku dan memaksa Rico pergi. Aku hanya mengangguk kepada Rico dan ia pun perlahan meninggalkan kami. Kulihat Prita menangis sesenggukan bersama Kevin, dan yang aku bisa lakukan hanyalah menenangkan mereka.
Aku lalu memberi ponsel Lukman kepada Kanaya untuk mengurangi kepanikannya akibat baterai ponselnya yang akan habis. Ia sangat membutuhkan senter pada ponsel karena ketakutannya akan gelap. Dengan bekal milik Fred dan 2 nasi kotak sisa kami membagi makanan secara merata. Namun, secara mengejutkan keegoisan perbuatan Lukman tadi berhasil merekatkan kami semua. Prita menenangkan Kevin, ia berkata akan tetap pergi ke Kompasianival apapun caranya dan tentu saja tidak bersama Lukman. Kevin mengangguk pelan dan berkata ia memang lelah bersama hidup bersama ayah yang selalu menyalahkan penyakit asma yang ia derita.
Sementara itu, aku menyelesaikan makanku dengan cepat untuk segera mengobati kaki terkilir Anggi dan memberikan obat pengurang rasa sakit kepada Pak Her dari tas Fred. Selama mengobati aku tersadar bahwa Anggi sudah tak lagi fokus untuk mengurusi sosial medianya dan Pak Her terus berkata ia akan hidup demi anaknya yang menunggu di rumah. Kanaya pun sudah terlihat jauh lebih tenang dan mampu mengendalikan rasa takutnya secara perlahan. Kami pun mulai dapat salilng berbagi cerita di dalam mini bus meski gelap datang perlahan.
Sorotan lampu motor Rico perlahan menghampiri, dan kami tentu setuju bahwa Pak Her harus pergi terlebih dahulu. Aku sudah bercerita masalah jantungnya dan semua mendukung ia harus sesegera mungkin keluar dari hutan. Rico berkata setelah sampai di pondok, Lukman seketika pergi entah kemana, dan Rico pun tak mau peduli. Segera kusampaikan bahwa tak apa ia kembali lebih lama asalkan Pak Her diantar sampai klinik terdekat, karena mobil pun baru sampai sekitar satu jam lagi.
"Sepertinya kami berdua baru saja terlepas dari ketakutan kami, aku yang takut dengan pendapat orang lain dan Kanaya yang takut akan kondisi alam. Tak selamanya hidup harus memperhatikan feed Instagram kan?" Anggi mengaku kepada kami sambil mengerlingkan mata kepada Kanaya penuh makna.
Selang beberapa waktu, akhirnya Rico dan Andi datang di waktu yang hampir bersamaan. Kami semua mengucap syukur, karena ini berarti kami semua bisa pulang dengan selamat. Aku titipkan Kevin, Prita, Anggi dan Kanaya kepada Andi untuk pergi secepatnya menuju klinik. Bagaimanapun mereka semua harus tetap harus diperiksa kondisi kesehatannya.
Kulihat catatan Fred berada di dekat kakiku saat aku merapikan barang-barang kami. Ternyata tulisan kematian Fred tidak berhenti di paragraf yang dibaca Prita, namun kulihat ada kutipan di ujung catatan yang menjadi pelajaran paling berharga selama aku hidup. Aku tersenyum, aku bersyukur telah menguburkan jasad Fred dengan layak. Kubaca sekali lagi sebelum aku menaiki motor Rico, dan senyum ini tetap merekah ditengah gelapnya malam. Terimakasih Fred.
It is not death that a man should fear, but he should fear never beginning to live.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H