Mohon tunggu...
Huud Alam
Huud Alam Mohon Tunggu... -

Belajar untuk hidup, hidup untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Kematian Fred

20 November 2018   10:49 Diperbarui: 21 November 2018   08:48 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku yang benar-benar muak melihatnya berusaha tenang dan meminta ia untuk setidaknya meninggalkan ponselnya yang masih memiliki baterai sekitar 70%. Ia segera melempar ponselnya ke arahku dan memaksa Rico pergi. Aku hanya mengangguk kepada Rico dan ia pun perlahan meninggalkan kami. Kulihat Prita menangis sesenggukan bersama Kevin, dan yang aku bisa lakukan hanyalah menenangkan mereka.

Aku lalu memberi ponsel Lukman kepada Kanaya untuk mengurangi kepanikannya akibat baterai ponselnya yang akan habis. Ia sangat membutuhkan senter pada ponsel karena ketakutannya akan gelap. Dengan bekal milik Fred dan 2 nasi kotak sisa kami membagi makanan secara merata. Namun, secara mengejutkan keegoisan perbuatan Lukman tadi berhasil merekatkan kami semua. Prita menenangkan Kevin, ia berkata akan tetap pergi ke Kompasianival apapun caranya dan tentu saja tidak bersama Lukman. Kevin mengangguk pelan dan berkata ia memang lelah bersama hidup bersama ayah yang selalu menyalahkan penyakit asma yang ia derita.

Sementara itu, aku menyelesaikan makanku dengan cepat untuk segera mengobati kaki terkilir Anggi dan memberikan obat pengurang rasa sakit kepada Pak Her dari tas Fred. Selama mengobati aku tersadar bahwa Anggi sudah tak lagi fokus untuk mengurusi sosial medianya dan Pak Her terus berkata ia akan hidup demi anaknya yang menunggu di rumah. Kanaya pun sudah terlihat jauh lebih tenang dan mampu mengendalikan rasa takutnya secara perlahan. Kami pun mulai dapat salilng berbagi cerita di dalam mini bus meski gelap datang perlahan.

Sorotan lampu motor Rico perlahan menghampiri, dan kami tentu setuju bahwa Pak Her harus pergi terlebih dahulu. Aku sudah bercerita masalah jantungnya dan semua mendukung ia harus sesegera mungkin keluar dari hutan. Rico berkata setelah sampai di pondok, Lukman seketika pergi entah kemana, dan Rico pun tak mau peduli. Segera kusampaikan bahwa tak apa ia kembali lebih lama asalkan Pak Her diantar sampai klinik terdekat, karena mobil pun baru sampai sekitar satu jam lagi.

https://pixabay.com
https://pixabay.com
Selama menunggu Rico kembali dan Andi datang, kami samar mendengar suara binatang buas menghiasi malam. Kami sesungguhnya takut namun saling meneguhkan, di saat ini aku sadar bahwa saat manusia menerima tantangan ada dua pilihan, menjadi pengecut layaknya Lukman atau menjadi ksatria yang berperisai doa. Prita pun berpesan bahwa aku tidak boleh menyerah dengan bisnisku hanya karena masalah ini, dan akupun mengiyakan. Kulihat Anggi dan Kanaya terlibat percakapan mendalam, sepertinya Kanaya meminta maaf dan disambut dengan pelukan Anggi. Samar dalam remang kulihat Kanaya dan Anggi tampak ceria walaupun ponsel tak lagi dipegangnya.

"Sepertinya kami berdua baru saja terlepas dari ketakutan kami, aku yang takut dengan pendapat orang lain dan Kanaya yang takut akan kondisi alam. Tak selamanya hidup harus memperhatikan feed Instagram kan?" Anggi mengaku kepada kami sambil mengerlingkan mata kepada Kanaya penuh makna.

Selang beberapa waktu, akhirnya Rico dan Andi datang di waktu yang hampir bersamaan. Kami semua mengucap syukur, karena ini berarti kami semua bisa pulang dengan selamat. Aku titipkan Kevin, Prita, Anggi dan Kanaya kepada Andi untuk pergi secepatnya menuju klinik. Bagaimanapun mereka semua harus tetap harus diperiksa kondisi kesehatannya.

Kulihat catatan Fred berada di dekat kakiku saat aku merapikan barang-barang kami. Ternyata tulisan kematian Fred tidak berhenti di paragraf yang dibaca Prita, namun kulihat ada kutipan di ujung catatan yang menjadi pelajaran paling berharga selama aku hidup. Aku tersenyum, aku bersyukur telah menguburkan jasad Fred dengan layak. Kubaca sekali lagi sebelum aku menaiki motor Rico, dan senyum ini tetap merekah ditengah gelapnya malam. Terimakasih Fred.

It is not death that a man should fear, but he should fear never beginning to live.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun