Mohon tunggu...
Mister Hussein
Mister Hussein Mohon Tunggu... -

Akademisi dan peneliti di bidang bisnis dan manajemen. Mengabdi di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Malang.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Akankah Indonesia Menjadi Negeri para Hobbit?

12 Januari 2012   01:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Saya yakin kompasianer tahu apa itu Hobbit, tokoh fiksi ciptaan Mister Tolkien. Dikisahkan secara fisik Hobbit hampir sama dengan manusia kebanyakan tetapi memiliki tubuh yang lebih pendek. Nah sosok hobbit itu langsung mucul di benak saya ketika membaca sebuah artikel di portal kompas.com (health section) yang mengulas bahwa rata-rata balita Indonesia menduduki peringkat ke lima terpendek untuk ukuran tinggi tubuh.

Dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa tinggi balita Indonesia pada tahun 2010 lebih pendek 7.3cm dibanding tinggi normal anak laki-laki (110cm) dan 6.7cm dibanding tinggi normal anak perempuan. Pada usia dewasa perbedaan ini semakin mencolok. Pada usia 19 tahun, beda tinggi kurang 13,6 sentimeter untuk anak laki-laki dan 10,4 sentimeter untuk anak perempuan dari tinggi semestinya.

Menurut pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Hasanuddin, Professor Abdul Razak Thaha, pendek nya balita Indonesia ini salah satunya disebabkan oleh kurang gizi kronis sejak dalam kandungan. Kondisi ini diperparah pula dengan rendah nya pengetahuan orang tua akan pengetahuan gizi. Banyak bayi Indonesia yang tidak diberikan ASI ekslusif sejak lahir. Begitu pula dengan pemberian kolostrum sejak 48 jam sejak kelahiran masih sangat kurang.

Yang membuat saya semakin sedih yaitu komentar Ketua Kaukus Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Subagyo Partodiharjo. Beliau mengatakan bahwa bagaimana negara bisa maju jika makan saja tidak benar. Walau mungkin komentar tersebut sedikit "lebay" tetapi saya setuju dengan pernyataan itu. Mengenai makanan, saya teringat guyonan teman-teman yang mengatakan "hidup itu untuk makan" atau "makan untuk hidup". Yah pasti kita tidak hidup untuk selalu makan tetapi kita butuh makan untuk dapat hidup.

Sebagai orang awam saya menganggap sebenarnya tidak terlalu susah meningkatkan gizi balita Indonesia. Cukup memperhatikan gizi balita sejak dalam kandungan dan sejak lahir. Walau demikian pasti akan banyak yang mendebat bahwa tidak mudah memberikan gizi yang cukup. Yang perlu diperjelas yaitu ukuran gizi yang cukup. Untuk bayi yang baru lahir hingga berumur 6 bulan Air Susu Ibu merupakan nutrisi yang paling sempurna. Tidak perlu susu formula atau makanan pendamping lainnya. ASI di lanjutkan hingga umur 2 tahun dengan makanan pendamping yang sesuai maka niscaya ketercukupan gizi akan terpenuhi.

Yang menjadi masalah saat ini adalah ketergantungan masyarakat akan susu formula dan makanan instan lainnya. Sehingga ASI semakin ditinggalkan. Perlu adanya tindakan kongkret dari semua pihak untuk memberikan pemahaman dan pendidikan bagi masyarakat akan penting nya ketercukupan gizi bagi balita. Langkah-langkah yang di lakukan oleh beberapa organisasi seperti halnya Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) dalam mengkampanyekan ASI patut didukung karena bagaimana pun juga ASI merupakan salah satu solusi peningkatan gizi balita sehingga di kemudian hari Indonesia tidak perlu menjadi bangsa Hobbit...

Salam Kompasiana....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun