Menguak Bahaya Peretasan Jurnal dalam Komunitas Sistem Informasi
Peretasan jurnal akademik, yang disebut sebagai journal hijacking, menjadi ancaman baru di dunia penerbitan ilmiah, terutama dalam bidang sistem informasi. Menurut Mller dan Sb (2023), fenomena ini tidak hanya menargetkan jurnal-jurnal predator tetapi juga jurnal-jurnal terkemuka yang sebelumnya dihormati di komunitas akademik. Contoh kasus yang mereka angkat, peretasan Scandinavian Journal of Information Systems (SJIS), memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana serangan semacam ini dapat merusak reputasi ilmuwan, merugikan penulis, dan merusak integritas ilmiah secara keseluruhan.
Dalam kasus SJIS, peretas berhasil menipu penulis dengan membuat situs palsu yang menyerupai situs jurnal asli, memanfaatkan nama jurnal untuk menarik penulis yang tidak curiga. Penulis diminta membayar biaya pemrosesan artikel (APC) yang tidak sah, sementara karya mereka tidak pernah diterbitkan oleh jurnal asli. Fenomena ini semakin sering terjadi karena kemajuan teknologi dan meningkatnya ketergantungan pada publikasi ilmiah dalam indeks ternama seperti Scopus. Menurut data Retraction Watch (2023), sekitar 12% dari penulis yang tertipu berasal dari negara-negara berkembang, terutama dari Asia Selatan, di mana kebutuhan untuk mempublikasikan artikel dalam jurnal bereputasi sangat tinggi.
Peretasan jurnal tidak hanya melibatkan kerugian finansial tetapi juga pencurian identitas dan properti intelektual, yang dapat berdampak jangka panjang pada karier akademik. Oleh karena itu, masalah ini tidak bisa diabaikan, dan diperlukan tindakan kolaboratif dari komunitas ilmiah global untuk menghadapi ancaman ini secara efektif.
***
Peretasan jurnal akademik merupakan bagian dari tren yang lebih luas dalam dunia penerbitan predator, yang telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mller dan Sb (2023), kasus peretasan Scandinavian Journal of Information Systems mengungkapkan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh fenomena ini terhadap para penulis dan jurnal itu sendiri. Salah satu dampak yang paling meresahkan adalah pencurian identitas, di mana artikel palsu diterbitkan atas nama penulis yang tidak mengetahui bahwa karya mereka telah disalahgunakan. Dalam beberapa kasus, reputasi penulis hancur karena artikel yang dipublikasikan tanpa izin tidak sesuai dengan standar akademis mereka, dan hal ini dapat menghambat karier mereka.
Pada tahun 2023, peretas yang menargetkan SJIS berhasil menambahkan lebih dari 100 artikel palsu ke arsip mereka, yang dapat diakses oleh publik melalui situs jurnal palsu. Menurut Retraction Watch (2023), sekitar 30% penulis yang terkena dampak berasal dari institusi di India dan negara-negara berkembang lainnya. Para penulis ini, sering kali adalah akademisi muda yang berusaha memenuhi persyaratan publikasi dari universitas mereka untuk mendapatkan promosi atau menyelesaikan program doktoral, menjadi korban dari tipu daya ini.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sistem yang diandalkan oleh peneliti, seperti Scopus dan Google Scholar, ternyata rentan terhadap manipulasi. Pada kasus SJIS, link situs palsu tersebut muncul sebagai hasil pencarian teratas dalam Scopus dan Google, sehingga memperkuat kredibilitas situs palsu tersebut. Mller dan Sb (2023) juga menyebutkan bahwa Scopus, meskipun telah diberitahu tentang masalah ini pada Februari 2023, membutuhkan waktu lebih dari dua bulan untuk memperbaiki link yang salah. Ini menunjukkan kelemahan dalam mekanisme pertahanan platform indeks publikasi besar terhadap serangan siber.
Fenomena peretasan jurnal ini juga dipengaruhi oleh model penerbitan akses terbuka yang semakin banyak diadopsi oleh penerbit ilmiah. Model ini, di mana penulis diharuskan membayar APC untuk mempublikasikan artikel, memberikan celah bagi para penjahat siber untuk mengeksploitasi penulis yang membutuhkan outlet publikasi yang terindeks Scopus. Di satu sisi, fenomena ini menciptakan pasar bagi penerbit predator dan peretas jurnal yang memanfaatkan tekanan publikasi dalam dunia akademis. Penulis yang tertipu tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga harus menghadapi risiko reputasi akademik yang hancur akibat keterlibatan dalam penerbitan jurnal yang telah disusupi peretas.
Dengan meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan seperti ChatGPT dalam dunia akademik, peretasan jurnal dan penerbitan predator dikhawatirkan akan semakin berkembang, terutama dalam memproduksi artikel-artikel palsu dengan lebih efisien.
***