"Democracy without choice is like a silent scream---present but unheard, existing but meaningless."
Hari pencoblosan Pilkada Banjarbaru 2024 menjadi momen refleksi bagi banyak warga, bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang makna demokrasi itu sendiri. Situasi ini, di mana hanya ada satu pasangan calon yang secara otomatis dinyatakan menang, memunculkan pertanyaan filosofis yang lebih dalam: Apa arti dari sebuah pilihan ketika pilihan itu sendiri tidak ada?
Demokrasi dan Kebebasan: Perspektif Sartre
Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialisme terkemuka, pernah berkata bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan, dalam pandangan Sartre, adalah kemampuan untuk membuat pilihan, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Namun, hari ini, kebebasan itu terasa menjadi paradoks. Apakah kita benar-benar bebas jika kotak suara hanya menjadi formalitas untuk menyetujui satu pilihan yang sudah ditentukan?
Sartre mungkin akan menggambarkan situasi ini sebagai absurd: sebuah keberadaan tanpa makna, di mana tindakan memilih kehilangan esensi sejatinya. Demokrasi yang sejatinya menjadi perayaan kebebasan dan keragaman justru tereduksi menjadi ritual kosong, sebuah "teater demokrasi" di mana aktor-aktor di panggung hanyalah penonton bagi dirinya sendiri.
Kierkegaard dan Pilihan yang Hilang
Sren Kierkegaard, filsuf eksistensialis lainnya, menekankan pentingnya individu untuk memilih, karena pilihan adalah bentuk eksistensi yang paling autentik. Namun, apa yang terjadi ketika pilihan itu tidak ada? Apakah kita tetap memiliki tanggung jawab eksistensial, ataukah kita hanya menjadi objek dalam sistem yang mengabaikan subjektivitas kita?
Bagi Kierkegaard, ketiadaan pilihan ini menciptakan kecemasan eksistensial. Masyarakat Banjarbaru mungkin merasakan kecemasan ini, bukan karena mereka tidak tahu harus memilih siapa, tetapi karena mereka tidak memiliki alternatif untuk dipilih. Dalam ketiadaan ini, mereka kehilangan momen untuk menjadi autentik sebagai warga negara yang berdaulat.
Demokrasi dan Absurditas: Camus Bicara
Albert Camus, melalui konsep absurditasnya, mungkin akan melihat Pilkada ini sebagai bentuk "Sisyphus modern." Kita, sebagai warga, mendorong batu demokrasi ke puncak bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke bawah---ritual tanpa tujuan, tanpa makna. Namun, Camus juga mengajarkan bahwa dalam absurditas, kita bisa menemukan pemberontakan.
Pemberontakan di sini bukanlah tindakan destruktif, tetapi tindakan untuk memberi makna baru pada situasi yang absurd. Mungkin bagi masyarakat Banjarbaru, pemberontakan itu hadir dalam bentuk diskusi kritis, satire, dan refleksi atas demokrasi yang sedang mereka jalani. Dalam absurditas ini, ada peluang untuk menciptakan demokrasi yang lebih bermakna di masa depan.
Demokrasi: Sistem atau Nilai?
Dari sudut pandang filsafat politik, demokrasi sering kali diperdebatkan sebagai sistem dan nilai. Sebagai sistem, demokrasi memiliki prosedur: pemilu, TPS, dan surat suara. Tetapi sebagai nilai, demokrasi jauh lebih kompleks. Ini tentang penghormatan terhadap kebebasan individu, hak untuk memilih, dan suara setiap warga.