Membahas soal menambah adik dengan si kakak itu ternyata bisa jadi tantangan tersendiri, lho. Aku sendiri nggak akan lupa bagaimana pertama kali mencoba menyampaikan hal ini kepada anak sulungku. Waktu itu, aku agak cemas, takut dia merasa tersingkirkan atau bahkan tidak suka dengan ide ini. Namun, ada beberapa langkah yang aku pelajari dari pengalaman dan tentunya dari berbagai sumber yang bisa membantu mempermudah diskusi tentang hal ini.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba memilih waktu yang tepat. Aku nggak mau pembicaraan ini terjadi saat si kakak sedang rewel atau capek, karena bisa dipastikan reaksi yang keluar mungkin tidak akan sesuai harapan. Jadi, aku menunggu momen di mana kami berdua sedang santai. Misalnya, ketika lagi bersantai di sore hari atau sambil membacakan buku cerita favoritnya. Momen ini penting banget, karena aku mau dia merasa nyaman dan siap untuk menerima kabar besar ini.
Aku mulai percakapan dengan cara yang sederhana, tanpa langsung ke poin utama. Aku tanya dia, "Gimana sih rasanya punya teman bermain di rumah? Kira-kira enak nggak kalau ada seseorang yang bisa main sama kamu tiap hari?" Dari situ, responsnya cukup positif. Ia bilang seru, tapi kemudian ia bertanya, "Tapi siapa, Ma?" Nah, ini jadi jembatan yang bagus untuk aku menjelaskan bahwa dia mungkin akan punya adik kecil yang bisa jadi teman mainnya nanti.
Yang perlu disadari adalah anak-anak seringkali punya banyak pertanyaan, dan itu wajar banget. Kakak sulungku waktu itu langsung bertanya, "Tapi nanti Mama nggak akan main sama aku lagi, ya?" Nah, di sinilah aku sadar pentingnya meyakinkan si kakak bahwa kasih sayang untuknya tidak akan berkurang. Aku bilang kepadanya bahwa cinta Mama dan Papa itu seperti kue yang besar sekali, dan setiap anak mendapatkan potongan kue yang sama lezatnya, tidak ada yang dikurangi. Bahkan, aku tambahkan kalau dengan adanya adik baru, justru ada lebih banyak kesenangan yang bisa dinikmati bersama.
Satu hal yang menurutku penting adalah melibatkan si kakak dalam mempersiapkan kehadiran adik. Aku berusaha untuk membuatnya merasa seolah-olah ia memiliki peran besar dalam persiapan ini. Kami pergi berbelanja barang-barang untuk bayi, dan aku minta pendapatnya tentang baju bayi yang paling lucu. Reaksi dia ternyata sangat positif, dan dia merasa seperti "kakak besar" yang sedang membantu orangtuanya. Ada momen lucu di mana dia memilihkan boneka yang sebenarnya agak besar untuk ukuran bayi, dan aku tertawa sambil berkata, "Wah, ini pasti nanti jadi teman yang seru buat adik." Mengajak si kakak untuk ikut serta seperti ini membuat dia merasa dihargai dan diikutsertakan dalam perubahan besar yang akan datang.
Tentunya, tidak semua selalu berjalan mulus. Ada hari-hari ketika si kakak merasa cemburu, terutama saat melihat perutku semakin membesar dan perhatian mulai lebih banyak ke calon adik baru. Aku pernah melakukan kesalahan dengan tidak segera peka saat dia merasa ditinggalkan. Dia pernah berkata, "Mama selalu ngomongin adik, kenapa aku nggak diajak main?" Itu jadi titik di mana aku sadar, komunikasi nggak boleh hanya fokus ke adik saja, tapi tetap harus menjaga perhatian ke si kakak.
Dari pengalaman itu, aku mulai membuat waktu khusus hanya untukku dan si kakak. Kami pergi ke taman bermain, makan es krim, atau sekadar membaca buku bersama sebelum tidur---semua tanpa membahas soal adik baru. Ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa meski akan ada anggota keluarga baru, momen-momen spesial dengan si kakak tetap ada dan tidak akan hilang.
Tips lain yang aku pelajari adalah menggunakan cerita atau buku anak-anak tentang keluarga yang sedang menunggu kehadiran adik. Ada beberapa buku cerita yang menggambarkan bagaimana seorang kakak menyambut adik barunya, dan aku merasa ini sangat membantu untuk memberikan gambaran kepada si kakak tentang apa yang akan terjadi. Anak-anak itu visual, jadi cerita dengan gambar dan alur sederhana bisa membuat mereka lebih mudah mengerti.