Mohon tunggu...
Husnul Khatimah
Husnul Khatimah Mohon Tunggu... Guru - inclusive enthusiast

pegiat dan praktisi pendidikan inklusif dan penanganan anak spesial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterbatasan Isi Dompet: Ketika Pizza Hanya Mimpi! Kritik terhadap Akses Makanan dan Ketidaksetaraan

17 Maret 2024   05:35 Diperbarui: 17 Maret 2024   07:45 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang, kebahagiaan ditemukan di balik keterbatasan, di antara taburan keju di atas roti dan impian akan sepotong pizza. Di dunia yang dipenuhi dengan ironi, kreativitas adalah kunci untuk membuka pintu menuju kenikmatan sederhana

Dalam perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Terutama ketika kita berbicara tentang kebutuhan dasar seperti makanan. Bagi sebagian besar dari kita, bisa memilih makanan yang kita inginkan bukanlah masalah besar. Namun, bagi mereka yang terjebak dalam pusaran kemiskinan, bahkan sesuatu yang sederhana seperti makanan bisa menjadi pilihan yang sulit.

Ketika seseorang merindukan cita rasa pizza yang lezat namun dompetnya menjerit, apa yang bisa dia lakukan? Nah, jawabannya mungkin lebih dekat daripada yang Anda kira. Mungkin dia akan berakhir dengan roti yang dihiasi dengan keju dan saus tomat, mencoba keras untuk meyakinkan dirinya bahwa itu adalah "pizza versi hemat". Ah, dunia penuh dengan ironi, di mana taburan keju di atas roti bisa dianggap sebagai obat untuk rasa malas.

Tapi mari kita lihat lebih dalam. Di balik perjuangan itu, ada cerita manusiawi yang menggetarkan hati. Itu adalah cerita tentang kreativitas dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan. Ini adalah cerita tentang bagaimana manusia dapat menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana, bahkan ketika uang tidak bisa membeli semua yang mereka inginkan.

Namun, di tengah kebaikan ini, mari kita hadapi kenyataan yang tidak menyenangkan: penguasa. Ya, mereka yang duduk di atas takhta kekuasaan, kadang-kadang tampaknya lebih terhubung dengan bulan daripada dengan realitas di tanah. Mereka yang harusnya menjadi penjaga kesejahteraan rakyat, seringkali terlihat lebih tertarik pada permainan politik dan pencitraan.

Ini seperti kita hidup dalam teater absurd, di mana penguasa berpura-pura menjadi pahlawan penyelamat, sementara sebenarnya mereka adalah bagian dari masalah itu sendiri. Mereka memuji diri mereka sendiri tentang upaya mereka untuk mengatasi kekurangan gizi, sementara pada saat yang sama, mereka membiarkan monster berkedok malaikat---industri makanan---berkuasa tanpa hambatan.

Tidakkah mereka melihat bahwa solusi yang sebenarnya jauh lebih rumit daripada sekadar memasang spanduk besar yang mengumbar kata-kata manis? Tidakkah mereka sadar bahwa untuk benar-benar mengatasi masalah kurang gizi, mereka perlu menghadapi monster itu dengan kepala tegak, bukan dengan tatapan ketakutan?

Mungkin, di antara semua retorika politik yang menggebu-gebu, kita harus mengingat satu hal: kehidupan adalah tentang orang-orang, bukan tentang politik. Dan saat orang-orang berjuang untuk mencapai akhir bulan, penguasa seharusnya tidak hanya menjadi pemain sampingan dalam pertunjukan ini. Mereka seharusnya menjadi pahlawan yang membuka jalan bagi keadilan sosial yang sejati.

Jadi, mari kita terus memilih kebaikan, terus menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, dan terus menantang penguasa untuk berbuat lebih baik. Karena pada akhirnya, kita semua berbagi kehidupan ini bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun