Saat ini kita telah masuk dan dihadapkan dengan era globalisasi. Era di mana semua orang dapat mengetahui berbagai kebudayaan dari seluruh penjuru dunia tanpa ada batasan.Â
Kebebasan dan ketidakterbatasan akses yang meliputi barang, jasa, modal kekuatan kapitalis yang melintasi batas-batas wilayah negara, maupun kebudayaan. Masayarakat mengalami perubahan dalam kehidupannya dari mulai bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan pada bidang kebudayaan suatu negara.Â
Jika berbicara tentang masyarakat pasti berkaitan dengan kebudayaan. Kebudayaan yaitu gaya hidup yang berkembang di dalam suatu masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama dan diikuti oleh generasi selanjutnya. Adapun difusi kebudayaan merupakan suatu misi penyebaran suatu budaya negara tertentu terhadap negara lainnya.Â
Pada era globalisasi ini banyak kebudayaan yang masuk dan berkembang di Indonesia. Salah satunya yaitu kebudayaan Korea yang saat ini banyak digandrungi oleh para anak muda. Â Korean Wave (Gelombang Korea) atau familiar dengan istilah KPOP merupakan suatu proses pelaksanaan dari misi difusi kebudayaan korea dalam ranah musik, film, makanan, dan fashion.Â
Dengan adanya musik K-POP, film, food, dan fashion banyak anak-anak muda yang tertarik dan mengikuti style yang dipakai oleh para artis dalam drama korea maupun yang digunakan oleh para K-POP star yang ada dalam Music Video mereka. Dengan begitu muncullah sifat fanatisme atau fanatik terhadap artis korea.Â
Dengan kemunculan Korean Wave ini, pemerintah Korea Selatan menjadi sangat diuntungkan. Negara Korea Selatan sekarang telah dikenal di seluruh dunia berkat gelombang koreanya. Menurut saya, fenomena ini merupakan contoh tentang teori Etnometodologi karena fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan alur dari tindakan atau perilaku dari komuitas tersebut yang dapat dipahami secara keseluruhan.
Saya mengenal teori Etnometodologi Harold Garfinkel dari buku Teori Sosiologi Modern (George Ritzer). Buku ini menjelaskan teori Garfinkel tentang Etnometodologi sebagai studi tentang praktik sehari-hari yang dikerjakan oleh anggota masyarakat biasa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Istilah etnometodologi (ethnomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani, berarti 'metode' yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus.Â
Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan 'penalaran praktis,' bukan logika formula. Dalam pemahaman saya, etnometodologi adalah salah satu teori yang dipayungi oleh paradigma definisi sosial yang memfokuskan studinya mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar kepentingan praktis.Â
Manusia bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau kepentingan praktis (Alfred Schutz). Etnometodologi hadir sebagai alat pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun pemahaman utuh atas fakta sosial yang tengah tertebar di masyarakat.
Teori Etnometodologi diperkenalkan oleh seorang ahli sosiologi Harold Garfinkel. Garfinkel dilahirkan di Newark, New Jersey, 29 Oktober 1917. Ayahnya adalah pengusaha kecil yang menjual barang-barang rumah tangga untuk keluarga imigran. Ayahnya ingin agar Garfinkel belajar dagang, namun Garfinkel ingin masuk kuliah.Â
Garfinkel kemudian mengikuti kemauan ayahnya, tetapi dia juga ikut kuliah di Universitas Newark. Karena kuliahnya kebanyakan diajarkan oleh lulusan dari Columbia, maka perkuliahan itu sangat berkualitas dan teoritis. Setelah lulus pada 1939, ia menghabiskan musim panas di kamp kerja Quaker di Georgia.Â