Menjelang akhir tahun 2011 ini, dua lembaga anti korupsi merilis laporan tahunannya. Yang pertama adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melansir hasil Survei Integritas 2011, yang kedua adalah Transparency International (TI) yang memublikasikan laporan bertajuk Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi) 2011. Kedua laporan lembaga anti korupsi itu amat penting bagi bangsa Indonesia, bukan hanya sebagai bentuk apresiasi kita, melainkan juga layak menjadi bahan refleksi akhir tahun.
Laporan hasil survei integritas yang dirilis KPK menempatkan tiga kementerian sebagai institusi pemerintah yang paling buruk integritasnya. Ketiganya adalah Kementerian Agama dengan skor 5,37, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5,44, dan Kementerian Koperasi dan UKM 5,52. Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2011 yang diumumkan Transparency International awal Desember ini, menempatkan Indonesia pada urutan 100 dengan indeks 3.
Posisi IPK Indonesia memang membaik dari 2,8 pada 2010 menjadi 3 pada tahun ini. Tetapi kenaikan sebesar 0,2 itu dinilai tidak signifikan sehingga Indonesia masih tetap berada pada kategori negara terkorup sejajar dengan 11 negara lain yaitu Argentina, Benin, Burkina Faso, Madagaskar, Djibouti, Malawi, Meksiko, Sao Tome dan Principe, Suriname, dan Tanzania. Kenaikan IPK Indonesia sebesar 0,2 itu juga tidak berarti apa-apa karena peningkatan yang sama juga dialami oleh beberapa negara lain. Bahkan negara dengan kategori IPK tertinggi atau terbersih, Selandia Baru, juga mengalami kenaikan indeks dari 9,3 pada tahun lalu menjadi 9,5 pada 2011. Saat ini memang terjadi kecenderungan penanganan korupsi yang membaik di berbagai belahan dunia. Kenaikan IPK di berbagai negara itu mengisyaratkan adanya peningkatan kesadaran warga negara terhadap akuntabilitas, kredibilitas, integritas, dan tranparansi lembaga-lembaga publik, khususnya dalam memerangi korupsi.
Tak pernah jengah
Tiga kementerian yang memperoleh status terburuk integritasnya menurut survei KPK, yaitu Kemenag, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Koperasi dan UKM, pantas dinobatkan sebagai “institusi publik terkorup di negeri super korup” atau “lembaga publik terkorup di dunia”. Dengan status Indonesia sebagai negara super korup versi survei TI, maka ketiga kementerian itu laik mendapat gelar tersebut karena perolehan skor integritasnya yang paling rendah alias berintegritas paling buruk. Memang tidak semua direktorat atau unit pelayanan publik di tiga kementerian itu dipersepsi teramat buruk integritasnya. Sejumlah unit layanan publik yang dipersepsi sangat buruk antara lain: proses pendaftaran izin penyelenggaraan ibadah haji khusus dan perpanjangan izin KBIH di Kemenag; izin penggunaan tenaga kerja asing di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; serta pelayanan data akses pasar domestik di Kementerian Koperasi dan UKM. Tetapi, persepsi yang buruk di beberapa unit layanan publik itu kemudian dipahami sebagai representasi dari keseluruhan institusi kementerian. Kalau mau jujur, pelayanan publik di sebagian besar instansi pemerintah di negeri ini sejatinya sudah terlampau jauh melewati batas etika dan kepantasan. Publik yang membutuhkan jasa layanan nyaris harus selalu memberikan suap atau gratifikasi sebagai imbalan jasa layanan yang diberikan birokrat kita.
Anehnya, para petinggi negeri dan birokrat kita seakan-akan tidak tahu malu. Mereka tak pernah merasa jengah saat berhadapan dengan para petinggi negara tetangga yang IPK-nya jauh di atas Indonesia. Bahkan negeri Thailand, yang secara politik masih belum cukup stabil, IPK-nya masih di atas Indonesia yaitu 3,4 dan berada pada urutan ke 80. Terlebih lagi dengan Malaysia (IPK 4,3; ranking 60), Brunei (IPK 5,2; 44), dan Singapura IPK 9,2; 5).
Kalau dengan petinggi negara tetangga pun, pejabat kita tidak pernah merasa malu, apalagi dengan rakyatnya sendiri. Tengok saja di pusat-pusat perbelanjaan di berbagai kota di Tanah Air. Kita akan dengan mudah menemukan PNS berseragam hilir-mudik berbelanja pada jam-jam kerja. Atau perhatikan kendaraan berpelat merah berseliweran di jalan-jalan raya pada hari-hari libur. Pemandangan yang sama juga tampak di sejumlah tempat wisata dan area parkir mal dan plasa. Mereka tidak malu menggunakan kekayaan milik negera untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Mereka bahkan merasa bangga memiliki properti dan kendaraan mewah yang tak sepadan dengan penghasilannya sebagai birokrat negara.
Faktor pemicu
Uniknya, tiga kementerian yang dipersepsi sebagai institusi “terkorup” itu memiliki sejumlah kemiripan yang menarik untuk ditafsir. Pertama, institusi terburuk integritasnya sebagaimana dipersepsi publik adalah Kementerian Agama. Semua orang tahu kementerian ini adalah pranata pemerintah yang dipercaya menangani urusan keagamaan; yang aparatnya sebagian besar mengerti dan memiliki pemahaman yang baik terhadap agamanya; yang sebagian pegawainya juga tokoh agama dan fasih mendakwahkannya. Mengapa sebuah institusi seperti itu dipersepsi publik sangat buruk integritasnya? Jika hasil survei integritas tersebut menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, maka kita menjadi pesimis terhadap peran agama dalam upaya pemberantasan korupsi. Ajaran agama yang sarat dengan nilai-nilai keutamaan, kejujuran, tanggung jawab, dan amanah, nyatanya tidak terpantul dari perilaku dan perangai pejabat publik kita. Keberagamaan yang semestinya tampak dalam krida para pejabat publik Kemenag justru menjadi semacam medium dan fortifikasi ketidakjujuran, penyelewengan, dan korupsi.
Pesimisme yang berkembang di masyarakat terhadap peran agama dalam perang melawan korupsi itu seharusnya menjadi tanggung jawab para pejabat Kemenag dengan cara menjadikan institusi mereka sebagai lembaga pelayan publik yang amanah, jujur, dan bersih. Jangan sampai muncul kesimpulan bahwa agama justru menyebabkan kejahatan korupsi tumbuh subur.
Kedua, tiga institusi pusat paling cacat integritasnya itu sama-sama dipimpin oleh menteri yang berasal dari partai politik, masing-masing dari PPP, PKB, dan Partai Demokrat. Fakta ini memperkuat sinyalemen sejumlah kalangan yang menengarai partai politik sebagai salah satu sumber dan pelaku korupsi tertinggi di Tanah Air. Dalam Barometer Korupsi Global (Global Corruption Barometer) 2010, yang juga dipublikasikan lembaga anti korupsi Transparency International, partai politik menempati urutan nomor wahid sebagai institusi sumber korupsi yang disusul oleh birokrat sipil, parlemen, polisi, dan pengusaha.
Ketiga, latar belakang ketiga menteri yang menahkodai tiga kementerian itu ternyata hampir sama, ketiganya pernah menjadi aktivis organisasi kemahasiswaan berbasis agama, PMII dan HMI. Salah satu di antaranya, Muhaimin Iskandar, bahkan pernah menjabat sebagai ketua umumnya. Meskipun mungkin berlebihan, kita patut mempertanyakan model pengembangan diri dan kaderisasi di dua organisasi kemahasiswaan berbasis Islam itu. Apakah selama ini aktivitas kemahasiswaan di dua ormas kemahasiswaan itu didukung oleh sistem pendanaan yang asal-usulnya tidak jelas. Betulkah kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan kita didanai oleh para pejabat publik yang sumbernya entah dari mana. Apakah politik uang sudah membudaya pada ajang pemilihan ketua umum organisasi kemahasiswaan, sehingga sebagian aktivisnya menjadi permisif dan toleran terhadap korupsi.
Bagi sebagian kalangan, hal ini barangkali dianggap biasa dan lumrah. Tetapi tidak boleh diabaikan bahwa aktivitas seseorang di organisasi kemahasiswaan ikut memberikan andil signifikan terhadap perilakunya di kemudian hari. Artinya, karakter, perilaku, dan gaya kepemimpinan pejabat publik kita juga ditentukan oleh pola pengembangan diri dan model kaderisasinya di organisasi kemahasiswaan. Kalau dalam organisasi kemahasiswaan sudah dibiasakan menerima dana-dana yang tidak jelas sumbernya, baik dari para alumninya maupun dari pejabat lain yang punya kepentingan, jangan heran jika pada saat mereka masuk ke dalam dunia politik dan lingkungan birokrasi pemerintahan, mereka kemudian menjadi permisif terhadap korupsi.
Padahal, banyak dari dari alumni organisasi kemahasiswaan itu yang menjadi elite sejumlah parpol dan menduduki jabatan strategis di berbagai instansi pemerintah. Beberapa mantan aktivis itu ada yang memimin parpol, seperti Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), Muhaimin Iskandar (PKB), Suryadharma Ali (PPP). Banyak juga dari mereka yang menjadi anggota legislatif di pusat dan daerah. Bahkan Ketua KPK terpilih periode 2012-2016, Abraham Samad, adalah mantan aktivis HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Amat disayangkan apabila kompetensi kepemimpinan mereka, yang telah diasah sejak masih menjadi mahasiswa, tidak disertai dengan komitmen kuat pada integritas dan kejujuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H