Survei Integritas 2011 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menempatkan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai institusi pusat terkorup dengan skor integritas paling rendah adalah ironi.
Ironi bukan hanya Kementrian Agama seharusnya menjadi teladan kejujuran dan integritas bagi institusi lain, tetapi karena dari hasil sejumlah survei sebelumnya, yang juga dilakukan KPK, pranata yang melayani bidang keagamaan ini selalu menempati peringkat bawah dalam skala indeks integritas. Dalam Survei Integitas 2007, Kemenag menempati peringkat 24 dari 30 lembaga yang disurvei dengan skor integritas sebesar 5,15 (di bawah skor rata-rata integritas sektor publik sebesar 5,53). Tahun 2008, skor integritas lembaga ini meningkat menjadi 6,57 tetapi peringkatnya menurun menjadi 27. Tahun 2009 kembali turun menjadi 6,23 yang juga diikuti oleh penurunan peringkatnya menjadi 32 dari 39 lembaga pusat yang ditilik. Dalam Indeks Integritas Nasional 2010 yang dilaporkan KPK, skor integritas Kemenag kembali melorot menjadi 5,46; dan meluncur jatuh ke angka 5,37 pada tahun 2011.
Skor integritas Kemenag tahun 2010 (5,46) dan tahun 2011 (5,37) mengindikasikan tidak adanya upaya perbaikan sama sekali di bidang layanan publik sektor keagamaan dalam dua tahun terakhir. Angka tersebut juga memperlihatkan betapa buruknya sistem dan budaya kerja di kementerian yang pernah diusulkan untuk dibubarkan ini. Di bawah kepemimpinan Menteri Agama sekarang yang berasal dari partai politik, skor integritas Kemenag justru terpuruk dan menempati posisi paling bawah. Padahal, di sisi lain, skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) Indonesia dalam tiga tahun terakhir berkecenderungan membaik, dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada tahun 2009 dan 2010.
Meskipun survei integritas dalam lima tahun terakhir selalu menempatkan kementerian ini di peringkat bawah, para pejabat dan petingginya seolah tidak peduli dan memandang enteng persoalan ini. Mereka mungkin sekali berkilah bahwa skor dan peringkat survei integritas itu tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Bahwa angka-angka itu berasal dari persepsi subyektif publik dan media serta tidak didasarkan pada data-data obyektif. Mungkin juga mereka mempertanyakan validitas instrumen yang digunakan KPK dalam survei itu. Mereka lupa bahwa pengukuran dengan instrumen hampir sama juga digunakan oleh institusi lain semisal Transparency International (TI). Baik KPK maupun TI, dua-duanya menggunakan ukuran yang hampir sama, yakni korupsi sebagaimana dialami, dipersepsi, atau menurut pertimbangan intuitif yang didasari pengalaman pribadi, penalaran, dan informasi yang tersedia. Kedua lembaga itu juga menggunakan sejumlah indikator yang kurang lebih sama, yaitu: pengalaman korupsi, cara pandang terhadap korupsi, lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu, dan pencegahan korupsi. Hasil survei yang dilakukan oleh TI tak hanya diakui validitasnya oleh komunitas internasional, melainkan juga digunakan untuk berbagai keperluan oleh para investor dan lembaga donor internasional.
Harus diakui bahwa pengukuran tingkat integritas dan korupsi tidak akan pernah menghasilkan angka-angka yang persis sama dengan kondisi sesungguhnya. Kesulitan utamanya bukan hanya pada persoalan validitas alat ukur yang digunakan, melainkan juga karena karakteristik dari korupsi itu sendiri yang merupakan tindak kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Jadi, survei persepsi dan cara pandang publik terhadap korupsi dipercaya sebagai pilihan paling mungkin untuk mengukur tingkat integritas dan korupsi lembaga pemerintahan atau negara.
Berlawanan dengan akal sehat
Terpuruknya skor integritas Kementerian Agama yang sekaligus menggambarkan tingginya korupsi di instansi itu mengundang tanya: bagaimana mungkin sebuah institusi yang paling bertanggung jawab terhadap layanan kehidupan beragama ini dipersepsi sebagai lembaga dengan integritas paling buruk. Bukankah agama mengajari kita untuk jujur dan menghargai kejujuran sebagai nilai utama. Agama pula yang menuntun kita untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Agama juga dengan tegas melarang kita memberi atau menerima suap.
Hasil-hasil studi dalam beberapa tahun ke belakang memang menunjukkan agama memberi andil dalam mewujudkan aparat pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Penelitian Robert D. Woodberry (2008) memperkuat temuan-temuan sebelumnya oleh Daniel Treisman (2000), Stephen Knack (2002), Eric Uslaner (2006), dan lain-lain, bahwa agama bersama-sama variabel lain memiliki kecenderungan mengurangi korupsi dan mendorong efisiensi pemerintahan. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa agama mempromosikan masyarakat sipil dan mengajarkan kejujuran. Agama memberikan kesadaran transendental kepada para pemeluknya tentang kehadiran entitas supranatural yang selalu mengawasi dan memindai segenap perilaku manusia. Dalam masyarakat sipil yang demokratis, perilaku pejabat publik dapat dikontrol. Di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran, sepak terjang aparat lebih mudah dipantau. Akhirnya, dengan kesadaran transendentalnya, menusia menjadi lebih waspada untuk tidak bertindak melanggar hukum dan moralitas. Jadi, masuk akal kalau agama dipercaya dapat mengurangi tindak kejahatan korupsi.
Tetapi, studi-studi lain menunjukkan hasil yang berbeda dengan studi tersebut. Kajian dua orang mahasiswa Ph.D. dari Department of Political Science, University of Notre Dame, Patrick Flavin dan Richard Ledet (2008) dengan tajuk Religiosity and Government Corruption in the American States memperlihatkan tidak adanya korelasi antara religiositas dengan tingkat korupsi di kalangan aparat pemerintah sejumlah negara di Amerika. Studi lain di India dan Nigeria oleh suatu tim peneliti yang diketuai Heather Marquette (2010) juga membuktikan tidak adanya perbedaan sikap terhadap korupsi antara mereka yang mengidentifikasi diri sebagai religius dan yang tidak. Agaknya, kedua studi ini akan semakin memperoleh validitas eksternal yang tinggi berkat survei integritas KPK pada tahun 2011 ini. Kalau kedua studi tersebut terbatas pada kesimpulan tentang tidak adanya korelasi atau perbedaan sikap terhadap korupsi antara mereka yang mengklaim religius dengan yang tidak; hasil survei KPK bahkan menempatkan lembaga pemerintah yang aparatnya mayoritas fasih berbicara ihwal agama sebagai institusi ”terkorup”.
Perlu evaluasi
Memang harus diakui bahwa institusi Kemenag bukan representasi pranata keagamaan tertentu. Birokrat dan pegawainya pun tidak mewakili penganut suatu agama. Budaya dan nilai-nilai kerja yang diacu juga tidak identik dengan ajaran agama tertentu. Mereka tipikal birokrat Indonesia yang patrimonial, yang memiliki nilai-nilai dan budaya kerja yang khas, kental dengan kultur feodal, gratifikasi, suap, dan lain sebagainya. Bedanya, birokrat dan aparat di kementerian ini pada umumnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik terhadap agama yang dianutnya dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kementerian atau lembaga pemerintahan lain. Sayangnya, selama ini berkembang suatu hipotesis—yang belum pernah diverifikasi kebenarannya, bahwa semakin baik pemahaman seseorang atas ajaran agamanya, semakin mudah ia mempermainkan ajaran agamanya itu. Apakah hasil survei integritas KPK tahun 2011, dengan demikian, dapat dijadikan sebagai salah satu bukti keabsahan dugaan itu? Bisa jadi betul. Atau mungkin, kombinasi antara nilai-nilai birokrasi patrimonial khas Indonesia dengan kebiasaan menyepelekan pelanggaran atas ajaran agama tertentu yang kerap dilakukan oleh mereka yang ”mengerti agama”, menjadi salah satu faktor yang memicu suburnya korupsi di kementerian ini.
Apa pun penyebab dan dari mana pun datangnya kultur korupsi sehingga bertumbuh subur di kementerian ini, yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi kinerja jajaran kementerian ini. Evaluasi bukan hanya penting untuk memperbaiki kualitas layanan publik, khususnya pada sektor pendidikan dan keagamaan. Evaluasi bahkan diperlukan agar masyarakat terhindar dari upaya pembodohan, hipokrisi, dan kepura-puraan. Bagaimana bisa sebuah institusi dengan skor integritas paling rendah dipercaya menangani urusan pendidikan dan keagamaan yang sarat dengan kemuliaan, keutamaan, adiluhung, dan sublim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H