Nusantara memang ”surga dunia” yang membentangkan keindahan alam dengan segala entitasnya. Fakta itu juga diamini oleh segenap bangsa sejagat. Bahkan, salah satunya dikukuhkan sebagai bagian dari tujuh keajaiban dunia, sekaligus ikon pariwisata favorit berupa candi Borobudur yang menakjubkan. Selalu ada saja turis mancanegara yang mengunjunginya, termasuk objek-objek lainnya hingga sekarang.
Ulasan seputar pesona berbagai penjuru tanah air juga bertebaran di berbagai media. Antara lain, tulisan-tulisan para Kompasianer yang bisa saya dan sampean baca kapan pun. Kompasiana sendiri yang pertama kali dikenalkan oleh teman blogger ini, serasa jujukan wisata informasi dan literasi dengan karakteristik yang unik dan sensasi yang mengasyikkan Selain itu, saya telah berkunjung langsung ke beberapa ”TKP” (tempat kunjungan pariwisata) dalam sejumlah kesempatan terdahulu, seiring keinginan bisa melongok lebih banyak tempat indah lain di kemudian hari.
Hingga akhirnya saya merasa benar-benar surprised dalam petualangan ke satu tempat beberapa tahun lalu. Pertama, saya cukup terkejut atas persepsi kebanyakan warga terhadap wartawan. Betapa kebanyakan masyarakat kecil daerah tersebut menaruh harapan sedemikian besar, dengan menganggap para kuli tinta sebagai penolong yang akan turut mengentas kehidupan mereka dari impitan ekonomi. Kedua, saya terheran-heran sekian lama ketika mengamati fenomena geografis dan sosial di sana. Pemandangan yang sungguh tak dinyana, terasa begitu miris, dan membuat saya bertanya-tanya sampai kini.
Ceritanya, saya baru sepekan melakoni aktivitas training pada anak perusahaan koran nasional kala itu. Kebetulan penempatan saya di kabupaten Sampang yang menjadi salah satu kantor bironya. Saya mendapatkan informasi dari orang tua anak penderita kelainan pada kedua kakinya yang sebelumnya telah saya liput dan berhasil dimuat pemberitaannya. Lantas, rilisnya menuai perhatian dokter bidang terkait di RSUD setempat, untuk mengulurkan sepasang kaki palsu secara gratis. Ayah balita malang tersebut kemudian meminta saya dengan sedikit mendesak, agar meliput ”Kampong Randah” (Madura, red), sehingga para warganya juga bisa memperoleh bantuan seperti keluarganya.
Mula-mula saya tidak langsung mengiyakannya lantaran beberapa pertimbangan. Terlebih rencana peliputannya belum tentu mendapat persetujuan dari kantor. Belum lagi, saya tidak dapat memastikan kebermanfaatan hasilnya. Baik dari sisi reportase maupun kepentingan masyarakat. Lalu saya coba menggali keterangan sementara kepada ayah bocah tersebut lebih dulu. Semisal keterangan tentang latar belakang pemberian sebutan Kampong Randah atau ”Kampung Janda”, kondisi umum sosialnya, jarak tempuh ke lokasi dan sebagainya. Kemudian saya mendiskusikannya dengan pimpinan hingga disetujui akhirnya.
Pada hari yang telah disepakati, pagi-pagi saya pun siap berangkat dengan motor pribadi, membonceng lelaki yang sehari-hari bekerja serabutan itu. Titik keberangkatan adalah rumahnya, sekitar lima belas menit perjalanan dari kantor Pemkab Sampang ke utara. Awalnya kami melalui rute beraspal layaknya jalan pedesaan pada umumnya menuju arah pelosok. Setelah beberapa saat lamanya, kami lalu berbelok kiri memasuki jalan dusun yang naik-turun dan kondisinya berlubang di sana-sini.
Ketika melintasi jalur itu, rumah-rumah penduduk sudah tampak kian jarang. Pemandangan sekeliling hanya didominasi barisan pepohonan yang meranggas, berikut hamparan ladang gersang. Lama-lama rute yang kami tempuh cenderung terus menanjak. Saya berkendara melambat sambil meliuk-liuk di antara lubang-lubang jalan. Kerikil dan batu-batu pelapis bawah aspal pun amat menghambat laju motor yang kami naiki. Lebih jauh, infrastruktur yang kami lewati berikutnya semakin memprihatinkan.
Itu saya rasakan hingga sewaktu kami telah melalui separuh perjalanan di bawah panas matahari yang terasa menyengat bukan kepalang. Bebatuan gede tampak menghampar sepanjang jalan, membuat laju motor kian tak leluasa. Kerapkali saya terpaksa meminta lelaki penunjuk arah yang saya bonceng, untuk turun dari motor lantas berjalan kaki. Lebih-lebih ketika sedang menyusuri jalan tanjakan berbatu. Menurut penuturan para warga di kawasan tersebut, sering terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kendaraan roda dua rusak parah bahkan patah, terutama saat melintas dari arah berlawanan yang menurun.
Mata coba memandang sekeliling kala berhenti sambil menghela nafas sejenak di sana. Ternyata kami sedang berdiri di dataran tinggi mendekati bagian paling utara Pulau Garam di wilayah Sampang. Menginjakkan kaki di tempat antah berantah macam itu, terasa sedang bermimpi. Saya pun hanya bisa sering menanyai lelaki berpostur kurus itu, seberapa jauh lagi akan tiba di tujuan. Celakanya, ia selalu mengatakan bahwa Kampung Janda sudah dekat, meski kami telah berjam-jam menyisir jalanan. Hendak memutar balik pulang, rasanya juga mustahil. Alhasil, saya meneruskan perjalanan dengan letih mulai merajam sekujur tubuh dan kepala pening. Oalaaah...
Beberapa jam kemudian, motor yang saya kendarai memasuki jalan setapak kampung itu akhirnya. Tanpa terasa kami berkendara lebih dari setengah hari dengan medan yang cukup berat dan melelahkan. Serupa dengan pemandangan sebelumnya, kegersangan membentang sejauh mata memandang. Rumah-rumah penduduk juga tampak rada terpisah-pisah dalam suasana yang cenderung sepi. Kami lalu menuju salah satu rumah warga terdekat yang tampaknya dikenal oleh si guide yang menemani saya.
Rumah itu tempat tinggal perempuan lanjut usia tanpa keluarga inti. Bangunan persis gubuk yang jauh dari kesan layak huni. Saat kami bertamu, hanya disambut kaponakannya dari desa lain yang juga sedang mengunjunginya. Lelaki tersebut mengatakan, bibinya tengah mengambil air minum di sumur yang agak jauh. Tak lama berselang, muncullah perempuan sepuh menyunggi bak di kepalanya. Setelah ia menurunkan bawaannya dan beristirahat sejenak, kami menyapanya lalu mengambil tempat duduk bersamanya di lincak usang. Kemudian saya coba memulai perbincangan tentang seputar kehidupannya.
Hanya saja, perempuan berusia senja itu terlihat kesulitan dalam komunikasi. Saya juga sempat terkejut, ketika mendengar bahasa tuturnya sedikit berbeda dengan bahasa Madura pada umumnya, sehingga saya tidak bisa langsung memahaminya. Lantas saya dibantu lelaki pengantar yang datang bersama saya, untuk mengobrol lebih lanjut dengan perempuan tersebut yang sesekali memandang saya dengan tatapan nelangsa. Sungguh apa yang saya temukan ini di luar dugaan, meski saya bagian dari masyarakat Pulau Garam yang hanya berlainan kabupaten.
Dari obrolan dengan nenek itu, terkuak kisah pilu yang dialaminya. Ia perempuan yang gagal berumah tangga setelah pernikahan dini ketika masih remaja. Kemudian ia tidak bersuami lagi hingga memasuki usia tuanya. Ia melanjutkan sisa hidupnya dalam segala belitan keterbatasan ekonomi, bahkan terbelakang sebagai orang yang buta aksara selama ini. Batin jadi berkecamuk menyimak ceritanya dengan ucapannya yang terbata-bata.
Kala saya merasa cukup memperoleh keterangan dari perempuan itu, kami lantas pamit untuk berpindah menyambangi para warga lainnya. Ternyata mereka bernasib tak kalah memilukan. Rumah mereka saja kebanyakan nyaris seperti, maaf, kandang kambing. Dada terasa makin bergejolak perih.
Jadi, sebenarnya mereka adalah segenap warga yang mendiami perbatasan dusun-dusun yang saling berdekatan. Mereka hidup menjanda dan tidak mempunyai anak sejak menikah usia dini tempo dulu. Lantas, mereka terhimpun di satu kawasan yang kemudian disebut ”Kampong Randah” oleh banyak orang. Selanjutnya kehidupan mereka terisolir dari dunia luar dan cenderung selalu terlewatkan dari sasaran pembangunan.
Sepulang kunjungan yang tak ubahnya wisata nurani itu, pikiran masih terajam ingatan tentang kepiluan para janda yang menghuni wilayah tersebut. Memang, beberapa hari usai berpetualang ke sana, hasil liputannya dimuat dalam pemberitaan koran tempat saya menjalani training dan sempat menarik atensi jajaran Dinas UKM dan Koperasi Pemkab setempat untuk datang meninjaunya beberapa tahun silam.
Tapi, endapan keraguan masih selalu berjelaga dalam benak hingga detik ini. Mungkinkah daerah itu sudah tersentuh pembangunan, semisal menjadi rute alternatif yang nyaman dan seru ke arah kawasan pariwisata pesisir utara Madura, sehingga mengalami banyak perubahan yang semakin melegakan sekarang? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H