Malam bergelayut di sepanjang dinding angkasa semesta
Basah dan manja seusai terbilas derai hujan dua petang
Rona gulita mengulum kerlip cahaya hingga lelah
Menjadi alibi bagi rembulan meningkap derap tanya
Gemintang pun serasa enggan memberi pertanda
Sejak riuh tentang Matahari Kembar membahana
Hempasan angin reda menyulam sepoi-sepoi
Rerumputan terdiam dalam rangkaian gumam
Tinggal serpihan masygul di sela sela ruang hampa
Segala khutbah terciprat mencari titik buram
Tak ada Matahari Kembar, kembar siyam, apalagi siyam kembar
Purnama bukanlah matahari walau berbalut pendarnya
Bias kejora jelaslah bukan pula
Langit, bebukitan, karang karang hingga kobaran api
Bukan Matahari Kembar, atau kembaran matahari
Lalu? Matahari Kembar hanyalah gema alu reput keadilan
Menggemerincing ayat ayat terampas makna
Syahdu gurindam senyap menguar lenyap
Bayang bayang nafsu beradu jelma siluet kebenaran
Ringkih tertatih-tatih merayapi helaian renda renda usang singgasana
Kerlinglah, sayap sayap bidadari meluruh dedaunan rapuh
Berganti lembaran bikini meliuk binal di bawah gemerlap irama menghentak
Coba memburu udara bebas dari kolong kolong pengap tarbiyah
Saat mualim bukan lagi sahabat kesunyian, hanya tawanan angka angka
Dan? Tiang tiang gantungan menumbuh pancang
Kian erat kembali memeluk tubuh tubuh penjaja asupan setan
Perampas jiwa tunas tunas hingga layu sebelum merekah
Itu pun bukan Matahari Kembar, jelas bukan
Maka, kemari sajalah Dewi Malam
Aku tahu betul betapa merajuknya dirimu
Biarlah kubisikkan mesra, ”Kau bukanlah Matahari Kembar
Meski indah binarmu selalu berpendar-pendar”
Sudut Gubuk Sunyi, 27.04.2015