Insiden penghentian aktivitas keagamaan terjadi dan cukup mengagetkan, sekaligus mengundang prihatin belum lama ini. Kala ormas berlabel Pembela Ahlus Sunnah (PAS) bersama Dewan Dakwah Indonesia ”mengingatkan” peserta Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Sasana Budaya Ganesha, Bandung (6/12) lalu.
Masyarakat utamanya warga Bandung lega, kejadian itu telah ditangani segenap pihak bersangkutan. Pemkot Bandung kabarnya juga telah menyampaikan penjelasan berikut sanksi tegas. Respon yang patut diapresiasi serta patut diterapkan Pemda di berbagai daerah lain. Dan rasanya kurang elok jika menganggap insiden macam itu hanya peristiwa sepele.
Hanya saja, sebagai bagian umat lapisan bawah, saya merasa janggal ketika pertama kali mengetahui nama ormas Pembela Ahlus Sunnah yang terkait peristiwa tersebut. Pembela ahlus sunnah, ahlussunnah yang mana yo? Muhammadiyah-kah, NU-kah (plus wal jamaah), atau wadah berpaham ahlussunnah yang mana?
Dengan kacamata organisasi, saya bertanya-tanya dalam posisinya disebut ormas. PAS terasa kurang pas, bila tidak boleh menyebutnya aneh, sehingga patut dipaskan. Memang, paham ahlus sunnah bukan klaim mutlak organisasi maupun kelompok umat (Islam) tertentu. Boleh-boleh saja pencetus ormas memberi nama apapun.
Namun, penamaan demikian menyisakan bias dalam pemahaman masyarakat. Lagi pula kalangan penggagas beserta jajaran pengurus inti ormas tersebut, jelas tidak menginginkan siapapun yang bergabung sekadar ikut-ikutan tho? Sebab, keanggotaan yang sebatas ”pupuk bawang”, selain akan berujung sesal di kemudian hari, juga tak kondusif untuk perkembangannya.
Sekurangnya ada tiga hal ketidakpasan yang memunculkan tanya. Pertama, soal relasi label ”Pembela” dan ”Ahlus Sunnah” yang terpakai. Sebagaimana kita mafhumi, konotasi ahlussunnah cenderung sebagai paham, ideologi, atau semacam platform organisasi. Karena itu, seandainya disetarakan -isme, lebih pas menggunakan Pengikut, Pengamal dan semacamnya.
Walau begitu, tidak harus pula dijadikan titel secara eksplisit. Itu tercermin pada Muhammadiyah, NU yang bahkan memilih istilah nahdhiyin, serta ormas dengan paham ahlussunnah lainnya sejauh ini. Dengan kata lain, pemakaian Pembela Ahlus Sunnah terasa problematik.
Kedua, meski ketika ahlus sunnah dikonotasikan ”pengikut sunnah” sehingga maksud pelabelannya Pembela Pengikut Sunnah, masih senjang dengan pengalaman selama ini. Jangan heran aktualisasinya lantas juga terkesan problematik. Kita tahu pengikut atau pengamal sunnah yang tergabung dalam Muhammadiyah, NU, serta wadah paham ahlussunnah yang lain tidak mengandaikan pembela.
Justru para sedulur pegiat Muhammadiyah, NU dan lain-lain turut berkontribusi ”membela” berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Baik secara kelembagaan maupun personal anggotanya, terhadap sesama muslim dan masyarakat umumnya. Seringkali pula mengedepankan sinergi bareng komunitas lain sampai lintas keyakinan, guna ”membela” kemaslahatan ammah. Tanpa ambil pusing dengan penonjolan citra.
Upaya memberikan kontribusi selama puluhan tahun demikian, lalu membangun karakteristik secara budaya selaku bagian entitas sosial, negara dan bangsa. Dalam praktiknya lebih concern semisal pada aspek pendidikan. Cakupan lebih jauh, senantiasa menjalin kebersamaan dialogis guna menikmati takdir kemajemukan. Termasuk penyaluran aspirasi menyangkut urusan negara dan kebangsaan, dengan mekanisme melalui lembaga pemerintahan di tiap jenjangnya.
Entah apakah penyematan nama PAS dimaksudkan hendak mensubordinasikan instusi seperti Muhammadiyah, NU serta lainnya? Tentu hal itu bakal memantik keberatan berbagai kalangan pengikut organisasi keagamaan berhaluan ahlussunnah yang lain di mana pun, terutama yang eksis lebih dulu. Jika hanya orang per orang dari setiap wadah sekalipun, tidak bisa digeneralisasi gegabah.