Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kopi, Lampung dan Kerinduan

12 Mei 2015   19:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14314332881943366527

[caption id="attachment_383290" align="aligncenter" width="483" caption="NIKMATNYA KOPI: Mug kenangan dibeli di Pasar Tugu, Bandarlampung (Dok.Pri)"][/caption]

Mendengar kata kopi, mata selalu akan terbelalak. Apalagi, saat minuman hitam itu bersanding dengan kata Lampung dalam bincang-bincang. Kopi dan Lampung rasanya memang pasangan yang klop. Wilayah yang cenderung bebukitan di seberang Selat Sunda ini, menjadi buah bibir sebagai salah satu daerah penghasil kopi. Ingatan jadi ikut terbawa kembali pada masa-masa ketika pernah tinggal di sana dulu. Kerinduan pun bergeliat.

Rindu ingin tahu bagaimana perkembangannya, semilir angin Pantai Klara, patung gajah di Bundaran Kota Bandarlampung dan lain-lain sekarang. Rindu nasi uduk juga lontong sayurnya buat sarapan pagi, aroma wangi seduhan kopinya, warung-warung kopi kelas pinggiran, orang-orang yang pernah berteman dan sebagainya kini. Terakhir kali berita televisi menyiarkan, Pasar Tengah sisi Utara, dekat stasiun Tanjung Karang terbakar belum lama ini.

Tapi, saya juga tidak buru-buru membayangkan berkunjung ke sana lagi, dengan tiket gratis melalui [Blog Competition] Ceritamu Bersama Secangkir Kopi Kompasiana dan Nescafe ini. Belum tentu saya meraih kesempatan tersebut. Saya hendak berbagi sepenggal cerita saja wis, karena belum tentu pula saya bisa pergi ke Jakarta yang menjadi titik keberangkatannya andaikan menang sekalipun. Dengan merogoh kantong sendiri, meski naik kereta api bisnis dari Surabaya jukgijak gijuk gijak gijuuuk...

Nikmatnya perbedaan dalam segelas kopi

Kopi sudah menjadi bagian keseharian yang tak boleh terlewatkan bagi saya. Bisa dibilang, tiada hari tanpa mereguk segelas kopi. Saya bahkan dikenalkan pada minuman hitam ini sejak bayi oleh almarhum kakek dan nenek. Dikarenakan, konon dengan membiasakannya bisa membuat tidak mudah terserang step yang biasanya dialami bayi. Entah apa hal itu sejalan dengan medis, tapi masyarakat pedesaan memercayainya lantaran terbukti mujarab hingga sekarang.

Bisa dibayangkan jika sehari saja tidak menikmatinya, betapa hambar selera dan terasa ada yang kurang. Lebih-lebih bila tidak meminumnya usai sarapan, ditemani semilir udara pagi yang segar. Ketika sedang menulis juga kurang seru tanpa sedia kopi. Bersanding minuman khas ini selama menuangkan tulisan, bisa membangkitkan gelembung-gelembung inspirasi maknyus yang kadang suka nyelempit di pikiran. Itu bagi saya, hal serupa belum tentu berlaku untuk sampean yang tidak biasa meminumnya.

Hingga sekitar tahun 2011 silam, Takdir-Nya membawa saya menginjakkan kaki di tanah Andalas untuk pertama kalinya. Waktu itu saya hanya menyambangi dua adik yang ditugaskan pada kantor cabang di Lampung, pusatnya di Bandung yang dikelola kakak sepupu. Tidak pernah terbayangkan saya akan ber-gijak gijuk sedemikian jauh. Berangkat dari ujung timur Jawa, menuju ujung baratnya. Lantas, masih harus menyeberang lautan sekitar tiga jam-an kalau lancar. Saya hanya biasa ke Jakarta, Bandung dan paling jauh saat menemani paman untuk satu acara ke daerah Ujung Kulon, tak jauh dari hunian para sedulur Baduy (luar) sebelumnya. Dan terpaksa saya harus transit istirahat sehari di Bandung, karena saya juga hanya mendapat informasi tentang bus malam dari kota itu.

Nah, sampean tahu apa bekal utama yang tak boleh tertinggal ketika menempuh perjalanan jauh? Pastinya saya biasa membawa kopi dalam kemasan botol air mineral ukuran tanggung dari rumah. Selain karena tidak gampang mendapatkan kopi dalam perjalanan, seiring larangan pedagang asongan menjajakan dagangan di dalam kereta bisnis sejak beberapa waktu lalu, kopi yang dijajakan awak kereta sendiri rasanya juga kurang mantab. Belum lagi, harganya akan berlipat ganda.

Saat melanjutkan perjalanan naik bus malam ke Lampung, usai beristirahat sehari di Bandung, saya tidak membawa kopi. Persediaan kopi dari Surabaya jelas sudah bocor bocor bocor. Ini menjadi waktu yang paling melelahkan. Lebih-lebih naik bus lebih tidak leluasa lagi, ketimbang naik kereta api yang berhenti di beberapa stasiun. Kondekturnya mengatakan bus hanya akan singgah sekali di tempat makan, itu pun setiba di sana nanti. Tapi, saya tidak kehilangan akal. Bukankah ketika dalam kapal penyeberangan bisa turun untuk mencari kopi? Masa ndak ada penjual kopi di kapal? Pikir saya menepis galau, sebelum memilih terlelap dalam penantian panjang hehehe...

Ah, benar saja, ketika bus terpakir dalam kapal, sang kondektur meminta semua penumpang bus turun dan bebas mencari cemilan atau melepas lelah. Saya bergegas turun sudah kebelet menenggak kopi sejak antrian kendaraan yang akan masuk kapal, juga cukup lama di pelabuhan Merak tadi. Lalu, saya langsung naik ke dek penumpang dan celingukan mencari cafetaria yang ternyata juga ala kadarnya.

Tak lama berselang, saya pun menikmati kopi segelas ukuran tingginya kurang dari sepuluh sentimeter. Lega rasanya, sambil menikmati lautan gelap dan desiran angin tengah malam. Usai puas membasahi kerongkongan dengan kopi beberapa saat, lantas saya hendak mencari tempat yang lebih nyaman untuk merem melek sejenak. Ketika menanyakan kepada penjualnya, berapa harga segelas mungil kopi yang telah saya habiskan itu, sampean tau berapa harganya? Lima belas ribu. Hampir tujuh kali lipat harga kopi warkop di Surabaya umumnya saat ini. Edan!

Namun, saya bisa memakluminya, harga semahal itu masih jauh lebih murah, daripada secangkir kopi karamel di satu hotel di kawasan Surabaya Barat yang mencapai ratusan ribu. Seperti ketika saya pernah diajak teman yang hendak menemui rekanan bisnisnya. Lagi pula tidak ada alternatif warung-warung kopi di tengah lautan antah berantah selama penyeberangan menuju pelabuhan Bakauheni tersebut hehehe...

Singkat cerita, hal pertama yang saya lakukan pada hari-hari pertama di Kota Tapis Berseri, tentunya mencari warung kopi di sejumlah tempat dari yang terdekat. Itu kebiasaan saya bila sedang berada di daerah baru relatif lama. Meski rupanya tidak gampang menemukannya di sana, berbeda dengan di Surabaya yang bertebaran. Kebanyakan tempat minum kopi hanyalah rombong semacam gerobak yang mangkal di pinggir jalan atau halaman pertokoan. Tidak cukup mudah pula menjumpainya di setiap tempat yang saling berdekatan, kecuali di seputar pusat keramaian. Dan lebih susah lagi menemukan rombong kopi yang buka hingga di atas jam sembilan malam.

Dengan minum kopi begitu, selain bisa mengenal beberapa kawasan yang masih asing, juga berguna mengetahui tempat-tempat yang mungkin diperlukan untuk urusan pekerjaan. Semisal tempat fotokopi, warnet, kantor pos, toko-toko alat tulis, warung makan dan sebagainya. Lalu bermanfaat untuk sosialisasi menambah kenalan hingga teman-teman baru dengan beragam perbedaan. Sambil menikmati kopi, juga banyak kisah terutama para warga urban yang mengemuka.

Pernah ibu penjual kopi langganan dekat rumah sekaligus mess adik di Perumahan daerah Antasari, Bandarlampung, di sudut area tanah kosong yang menjelma Hypermarket sekarang. Perempuan sepuh asal Jawa Barat itu, curhat tentang perlakuan dua orang anak perempuannya kepada dirinya. Ia begitu tertekan, hingga tak betah di rumah. Lalu, ia memilih seharian berada di rombong kopinya, mengais nafkah bareng cucu perempuannya yang masih kelas enam sekolah dasar. Hampir tiap malam ibu dan cucunya itu tidur di lapak yang amat sesak tersebut. Saking tertekannya, ia kadang berlinang airmata selama menceritakannya pada saya.

Itulah sepenggal cerita selama berkunjung ke Lampung, selama hanya sekitar sebulan untuk pertama kalinya. Masih ada kisah-kisah lain, dengan nikmatnya perbedaan dalam segelas kopi. Apalagi, kemudian saya benar-benar ikut hijrah bekerja setahun di sana mulai sekitar tahun 2013 sampai 2014 lalu. Dan berbagai keunikan daerah Ruwa Jurai beserta entitas sosialnya menyisakan endapan kerinduan, terutama rindu kopinya yang khas dan sip-markosip.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun