Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keheningan Ceruk Airmata Ratu Ibu Bangkalan

20 Oktober 2014   18:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:23 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suasana terasa lebih tenang semalam. Malam-malam sebelumnya kerap gaduh dengan ulah nakal angin.di penghujung musim kemarau sekarang. Hembusannya begitu kencang menerpa dinding, pintu dan jendela rumah. Saya tengah asyik berselancar di Kompasiana, sambil menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Padahal, waktu beranjak semakin larut. Capeknya tuh di sini (tunjuk mata).

Di sela-sela keasyikan menikmati tulisan-tulisan para Kompasianer, ganjalan yang mengendap dalam benak serasa ikut menyeruak. Akhir-akhir ini pikiran sering terusik saban mengingat ceruk ”airmata” di lingkungan situs bersejarah Ratoh Ebuh Airmata (baca: Ratu Ibu) Bangkalan yang telah berubah wujud.

Komplek itu sendiri bagian objek wisata religi-budaya yang ramai dikunjungi masyarakat dari pelbagai daerah. Biasanya para sedulur yang sedang menyelenggarakan ziarah sembari berwisata di seputaran Madura khususnya, juga akan menjadikan tempat itu jujukan perjalanan. Dan jumlah pengunjung cenderung meningkat terutama pada Idul Fitri dan saat bulan-bulan baik lainnya.

Situs tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Ratoh Ebuh, beserta sejumlah keturunannya dan leluhur dari trah kerajaan Bangkalan pada masa silam. Ia tercatat bernama asli Syarifah Ambami yang terhitung cicit Sunan Giri, lalu bersuami Raden Prasena berjuluk Pangeran Tjakraningrat I dari keraton Sampang. Lokasinya di desa Buduran, Arosbaya, dengan rute ke arah utara alun-alun Bangkalan.

Jika berkunjung ke sana, akan menjumpai renik-renik peninggalan sejarah tempo dulu. Sebut saja corak kebanyakan makam dengan undak-undakan serupa relief candi berikut gapura yang menjadi penanda eksistensi kerajaan, layaknya keraton-keraton (Jawa) pada umumnya di masa lampau. Sebagian besar strukturnya terbangun dari semacam bebatuan kuno dengan pemasangan yang cenderung tradisional banget.

Tak seberapa jauh dari komplek situs Ratoh Ebuh Airmata, juga terdapat objek wisata lain yang cukup memanjakan pandangan. Sekadar contoh pantai Siringkemuning dengan pesona debur ombak samudera. Lebih dari itu, pewisata tentu berkesempatan menjinjing oleh-oleh aneka batik khas Bangkalan, termasuk ”batik gentong” yang memiliki keunikan tersendiri.

Nah, saya pun sempat jalan-jalan pada lebaran kemarin. Pikiran menjadi terusik saat mengetahui perubahan drastis pada ceruk ”airmata” yang sebenarnya bagian daya tarik situs Ratoh Ebuh Airmata selama ini. Dulu, bentuknya hanya selingkar kecil cekungan tanah yang digenangi air. Letaknya memang agak keluar dari kompleks pemakaman utama. Pengunjung biasanya tak melewatkan untuk mengambil airnya selepas berziarah. Uniknya, saat air diambil volume genangannya seakan tidak berkurang.

Tapi petilasan itu sudah menjelma bangunan menyerupai kamar mandi kini. Peziarah juga tinggal membeli airnya yang sudah diwadahi ke dalam botol-botol air minum kemasan seharga tiga ribuan. Entah sejak kapan perubahannya dan mengapa demikian jadinya. Padahal, keberadaanya bertautan dengan situs Ratoh Ebuh Airmata, sebagaimana legenda cagar budaya sejenis lainnya yang berkembang di masyarakat umum.

Syahdan, daerah sekitar liang berair itu tempat perenungan sang Ratu kala terpisah dengan Raden Prasena, suaminya yang sedang mengemban tugas membantu kerajaan Mataram terdahulu. Lantaran kemungkinan suaminya akan lebih lama kembali, itu pun bila selamat dalam upaya ikut memertahankan pemerintahan Sultan Agung yang tengah menghadapi kecamuk pemberontakan, sang Ratu kemudian memilih untuk menenggelamkan diri dalam khulwat, demi turut mendoakan keselamatan suaminya.

Tak jarang pula ia sampai menitikkan airmata memendam beban perpisahan, atas takdir yang bisa merenggut kebersamaan dengan suaminya kapan pun. Derai airmatanya yang menetes ke tanah, tanpa disadari membuat lubang dan genangan air. Seiring waktu ”relung kesetiaan” sang Ratu tersebut seakan mengabadi berwujud jelukan air yang tak surut ketika diambil airnya.

Boleh saja pembenahannya mungkin berdalih menghindarkan tahayul, lantaran airnya dipercaya bertuah oleh sebagian masyarakat. Namun, hasil perbaikannya demikian juga terasa menjadi tidak mengasyikkan lagi. Jangan heran, bila kemudian ceruk ”airmata” itu perlahan kian luruh dalam keheningan detik ini. Taruhlah kesannya berbeda jauh dengan objek wisata religi Ampel, Surabaya, yang justru ”memunculkan” petilasan Sunan Kalijaga di area luar pagar situs Sunan Ampel yang tak terjumpai sebelumnya.

Kiranya, merawat bahkan memerbarui peninggalan sejarah perlu kehati-hatian, untuk tetap seksama mempertahankan setiap endapan aspek historisnya yang terpendam dan bukan mustahil sarat pelajaran tak ternilai. Jadi, pilunya tuh di sini (tunjuk dada). Bagaimana menurut sampean?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun