Pertemuan terakhir, saat Pras pulang bertugas membantu perlawanan terhadap pasukan Londo, empat purnama lalu. Itu pun ndak ubahnya berpamitan. Walau begitu, hati Ambami bahagia untuk melepas rindu. Usai terpisah sekian lama, antara tanah Mataram dan daratan paling barat pulau yang disebut oleh Bastian Tito ”Pulau Seribu Kematian” di era pascakemerdekaan.
”Honey... Mengapa kau menungguku dalam kontemplasi begini? Kau bisa sakit nanti, di tengah deraan terik mentari, hujan, angin serta cipratan ombak. Selama entah kapan aku akan datang” sapa Pras.
”Jangan khawatir, sayang. Semua itu ndak akan kuasa menyakitiku. Kau tahu? Penantian ini medan laga bagiku. Layaknya arena juangmu mengusir penjajah di sana. Dan aku sangat menikmatinya” balas Ambami berbinar-binar.
”Tapi, lihatlah, tetesan airmatamu telah membuat cerukan di tanah dan mulai menggenang” tunjuk Pras dengan dada bergetar.
”Airmataku hanyalah senjata sekaligus benteng, untuk menghalau segala serbuan yang hendak meluluh-lantakkan singgasana kesetiaanku” sahut Ambami. Sejak itu, syahdan keduanya tetap terpisah hingga sekarang.
Ilustrasi: Sciencefly [FF150] D'n Ans Hoki - 72
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H