Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Antara JW Hingga JK

12 Maret 2015   14:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:46 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Huruf huruf saling berjingkrak, kata kata berlarian

Kalimat kalimat ikut beradu di kerumunan
Lalu riuh menyeruak dari lorong lorong sunyi
Membungkam suara suara lirih nasib tak pasti
Berebut perhatian dari butiran peluh dan airmata
Tubuh tubuh tersengal mengais di lumbung padi

Ketika samudera kehilangan penghuni

Bumi ndak lagi memercikkan api kehidupan

Udara mengepulkan asap sekam

Tanya tanya berjelaga menyesaki ruang hampa

Apa, mengapa, bagaimana, juga kapan?
Hanya tentang siapa, berkelebat di bawah temaram

Saat huruf huruf menggamit berganti-ganti

Tinggal jejak-jejaknya saja tergurat

Di sela sela kaki penghulu, terpaku

Mata coba menatap, terlihat itu JW

Hati membantah, bukan, itu tampak JK
Lalu mata membalas, jelas itu JW

Tapi hati bersikeras, itu pasti JK

Itu JW, bukan, itu JK, bukan

Seharusnya JK lalu JW

Enak saja, mestinya JW kemudian JK

Mata dan hati berdebat

Tentang JW dan JK, ataukah JK dan JW?

Sementara mata mata dan hati hati termenung di luar pagar

Bertanya-tanya, bukankah itu BG, BW, BH, lalu BW lagi?
Mata dan hati menepis bersamaan
Ah, kalian sama ndak jelasnya, melihat yang bukan bukan
Kalian hanya mata mata dengan hati hati

Sedangkan kami hanya mata dan hati

Itu JW, bukan BG, BW, BH, apalagi BW lagi

Bukan, itu JK dan bukan BG, BW, BH, mustahil BW lagi
Kenapa ndak terpikir itu hanya G, H dan K saja, tho?

Langkah langkah berjingkat mengambil posisi

Berebut kartu AS sembari terkekeh di sela kegaduhan

Mempertaruhkan karung karung curian

Saat huruf huruf saling berjingkrak, kata kata berlarian

Kalimat kalimat bergabung di keramaian

Entah apa, mengapa, bagaimana, lantas sampai kapan?

Dan tentang siapa, bukan siapa siapa

Tinggal pertiwi bersedu sedan tiada henti

Atas tubuh tubuh tersengal di lumbung padi
Ketika penghuni samudera menghilang

Api kehidupan ndak lagi memercik dari pangkuan bumi

Kepulan asap sekam mengabuti udara

Tubuh, bumi, samudera, api dan udara kemerdekaan

Bilik Wong Cilik, 11 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun