Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Antara Jodha Akbar dan Radikalisme

2 April 2015   19:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Film yang memuat pesan moral mendalam, sehingga berkesan setelah ditonton, saya pikir itu boleh dibilang film bagus. Entah bernuansa drama, action, komedi, horor, bahkan kartun. Juga tidak harus film yang begitu rumit, tapi meski simpel alurnya sekalipun. Banyak film kartun misalnya, kaya dengan message yang mengesankan. Dan tak sedikit film dewasa yang justru hampa muatan pesannya.

Termasuk pula sinema televisi. Sekali tayang atau sinetron berseri. Kalau memang bermuatan nasihat moral yang ciamik, why not? Hanya saja, kebanyakan sinetron layar kaca cenderung nihil pelajaran berharga yang bisa dipetik hikmahnya, sehingga sebagian besar masyarakat ogah menontonnya.

Omong-omong, saya tertambat dengan serial Jodha Akbar kemarin malam. Kala saya tanpa sengaja memilih channel, hendak keluar sejenak dari kebisingan pemberitaan soal ISIS dan radikalisme yang gaduh belakangan. Yakni, episode ketika raja Mughal, Jalaluddin Akbar, selesai berperang membantai banyak orang Rajpur, demi mendapatkan kedamaian dengan pelampiasan amarahnya setelah kematian putra kembarnya.

Anehnya, sang raja tidak merasakan damai yang diinginkan. Ia justru merasakan hatinya semakin disesaki penderitaan. Saat ia kian dirundung galau, seorang prajuritnya memberitahu bahwa orang suci bernama Syeh Salim Chisti memanggilnya, karena ingin bertemu dengannya usai tak kunjung sempat menemuinya sekian lama. Rupanya tokoh agama itu, tahu bahwa raja Mughal tersebut sedang tersesat jauh dalam kubangan duka teramat dalam, untuk kemudian coba membantunya ke luar dari lingkaran nestapa.

Nah, angle cuplikan sinema India itu yang terasa nyes dalam benak antara lain, saat Jalal diam-diam memijat kaki Syeh Salim yang sedang tertidur di lincak. Ia melakukannya dengan penuh ketakziman sebagai bagian riyadhah pertobatan berikut penyesalannya, setelah menebarkan penderitaan terhadap banyak keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta mereka dalam perang terdahsyat mutakhir. Bayangkan saja, penguasa terkuat dan paling ditakuti di tanah India masa itu, bisa sedemikian luruh tanpa memedulikan segala aksesoris kekuasaan bahkan egoismenya, hingga rela menyentuh kaki orang biasa meski bukan lawannya.

Syeh Salim Chisti sendiri rasanya bukanlah agamawan yang hanya jago melontarkan dalil-dalil agama. Tampaknya ia juga tidak tertarik dengan syahwat berkuasa, apalagi mendirikan negara atas dasar satu agama dan menjadikan semua orang berkeyakinan satu dengannya. Ia hanyalah rakyat yang semata terus menerjemahkan pemahaman keagamaan yang diyakini, berupa pengabdian kemanusiaan di tengah pergaulan sesama yang berbeda-beda. Dirinya sebatas hamba yang senantiasa rindu menghampiri-Nya dengan jalan cinta.

Benar (dialog) kata Syeh Salim, kita tidak akan merasakan kedamaian dan bahagia dengan membuat sekalian orang berkalang derita. Kita bisa memberi kematian pada siapapun, tapi mampukah kita menyuguhkan kehidupan (sejahtera) pada setiap manusia? Demikian kiranya pesan hakiki agama yang sering terlewatkan, bahkan seakan memang sengaja diabaikan hingga kini.

Kontras bingit dengan jalan yang ditempuh para sedulur berpaham radikalisme. Dengan menghamba pada keyakinan pribadi (bukan lagi kepada Gusti Tuhan), menistakan apa yang diyakini orang lain. Lalu, seenak udel mendedahkan penderitaan dan kesengsaraan tak pandang tempat dan waktu, mengatasnamakan Gusti Tuhan dan agama.

Ditambah pemaknaan cita-cita agama dalam mewujudkan kesentosaan menyeluruh, terlampau dangkal hanya dengan gagasan mendirikan negara atas satu keyakinan agama. Bukankah dengan begitu justru memubazirkan kesempatan, daripada langsung saja berbagi manfaat? Semisal pengentasan kemiskinan, penguatan edukasi, pemerataan kesejahteraan, serta menegakkan sendi-sendi kemanusiaan tanpa senjata dan kekerasan mulai sekarang.

Pelampiasan ambisi kekuasaan pun selalu berkedok agama. Bahkan, tak segan-segan menumpahkan darah, bukan hanya di antara pemeluk agama yang berbeda, tapi juga kepada sesama penganut seagama. Lebih jauh, bertindak layaknya Gusti Tuhan yang bebas menentukan hidup siapapun.

Jika direnungkan kembali dengan lebih jernih, sejatinya banyak jalan menuju ke Hadirat-Nya. Di antaranya, lewat media film yang mengemas pesan-pesan maupun hikmah agama tentang moralitas dan kemanusiaan. Sementara, kiranya satu jalan yang akan semakin menjauhkan dari-Nya, yakni pembangkangan yang dipenuhi luapan kebencian, amarah dan rumangsa paling benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun