Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akankah Shireen Bercadar Ketika Teuku Wisnu Berjenggot?

13 April 2015   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cukup lama saya memandang lekat-lekat presenter laki-laki, dalam tayangan religi di layar kaca saat petang baru-baru ini. Mulanya saya rada terhenyak melihatnya, karena sekilas wajahnya familiar. Ternyata, ia memang Teuku Wisnu yang sudah tak asing bagi khalayak. Pemain tokoh bernama Farel dalam sinetron Cinta Fitri yang menjadi favorit pemirsa dulu.

Rupanya suami pemeran Fitri dalam serial yang sama, Shireen Sungkar, itu berpenampilan anyar. Ia berjenggot lebat dan biasa memakai celana cingkrang sekarang. Gaya barunya juga sempat heboh di media. Diberitakan, ayah satu anak tersebut mengubah penampilannya sekitar akhir tahun 2014 lalu.

Bukan hanya itu, Wisnu juga menyematkan sebutan ”Abu Adam” untuk namanya pada akun media sosialnya. Tambahan onomastika berarti ”ayah Adam” diambil dari Adam Al-Fatih nama depan puteranya. Alasan dirinya mengganti performanya demikian, lantaran mengidolakan salah seorang sahabat Nabi zaman silam. Dan konon ia butuh waktu berbulan-bulan untuk menumbuhkan jenggotnya.

Perubahan style dirinya tersebut seakan mengikuti jejak artis muda pria terdahulu. Yakni, mantan gitaris Sheila on 7, Sakti Aria Seno, yang juga berjenggot. Bahkan, penampilan anggota grup band yang cukup tenar pada eranya ini, boleh dibilang lebih drastis. Bukan hanya jenggotnya lebat dan panjang, tapi ia juga menggunakan gamis alias jubah. Ia pun menggunakan panggilan baru Salman Al-Jugjawy belakangan.

Itulah pilihan keduanya yang menjadi hak pribadi sepenuhnya. Bebas sesuai kehendak sendiri. Boleh-boleh saja memilih gaya diinginkan, termasuk berjenggot, memakai nama alias dan seterusnya. Toh, rambut dagu hanyalah sunnah dalam agama. Kalau pun sebagian pihak memandangnya wajib, kalangan lainnya beranggapan hanya kewajiban memeliharanya dengan mengandaikan perawatan, bukan menumbuhkannya ketika memang ditakdirkan tanpa jenggot. Bila masih berbeda pandangan, lagi-lagi sebatas urusan pilihan masing-masing.

Sementara, imbuhan nisbat sebenarnya juga telah biasa dalam masyarakat di tanah air. Terutama orang-orang sepuh zaman dulu, cenderung akrab disapa sesuai nama putera sulung mereka, bahkan saat anak pertama mereka perempuan sekali pun. Ada warga yang dipanggil ”Pak Misbahun” karena anak pertamanya bernama Misbahun dan ia sendiri Supeno namanya. Ada juga yang dijuluki ”Pak Supiyani” mengambil dari nama puteri sulungnya, padahal ia sendiri bernama Mahmudin.

Onomastika bagi masyarakat Arab seperti Abu Adam atau Al-Jugjawy, biasanya disandarkan pada suku, daerah asal atau negara. Sebabnya antara lain, kebanyakan nama utamanya warga di sana amat sederhana tempo dulu. Para warga Arab memberi nama anak-anak mereka cukup Ahmad, Hasan, Syarifah dan sebagainya, sehingga kadang untuk sebatas membedakan nama yang sama dengan orang berbeda, ditambahkan nisbat pada sebutan belakangnya. Ulama dalam negeri masa lampau pun tak sedikit yang dipanggil oleh masyarakat Arab, berikut daerah asalnya semisal Syaikh Nawawi al-Bantany, ulama besar dari Banten dan lain-lain.

Hanya saja, penisbatan macam itu hendaknya berpijak pada kelaziman linguistik asalnya tersendiri, bukan semata di-gatuk-an sekenanya. Pemakaiannya bermula dengan men-translate nama suku, daerah atau negara yang hendak ditambahkan versi bahasa Arab lebih dulu. Lalu, menambahkan ”ya’ nisbat” di akhirnya. Jika huruf terakhir konsonan, maka tinggal menambahkannya. Bila huruf akhirnya vokal, biasanya mengganti dengan menyelaraskannya. Contoh, Imam Bukhary yang berasal dari daerah Bukhara negara Rusia sekarang. Entah bagaimana dengan Al-Jugjawy, apa seharusnya Al-Jugjy atau Al-Jugjakarty?

Tidak gampang menerjemahkan nama suku maupun daerah tanah air ke dalam bahasa Arab, sebelum memakai tambahan onomastika. Karena itu, masyarakat lebih familiar memakai nisbat keluarga. Itu pun tidak sertamerta dengan meng-Arab-kannya. Mungkin para orang tua silam telah memahami bahwa kultur Nusantara memiliki cita rasa tersendiri, tanpa harus diubah layaknya kawasan Timur Tengah yang ribet. Bahkan, tak sedikit para sedulur yang dinamai Abu Bakar, Abu Sofyan dan semacamnya sejak lahir kini.

Kembali soal makeover pelakon Farel dalam tayangan Cinta Fitri itu, akankah pemeran Fitri selaku istrinya juga bakal mengganti penampilannya dengan bercadar nanti, ketika suaminya berjenggot sekarang yo? Dikarenakan, kebiasaan pasangan yang sering dijumpai, ketika sang imam keluarga berambut dagu lebat, si istri segera memakai busana amat tertutup, hingga sebagian besar area wajah layaknya. Sekadar bertanya-tanya dari perspektif fesyen atau performa.

Ya, semua itu kembali pada pilihan, karena hidup memang pilihan. Terpenting saat kita memilih jalan kehidupan secara bebas dan merdeka, semestinya kita pun membebaskan dan memerdekakan sesama terhadap pilihannya. Bagaimana menurut sampean?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun