Persidangan kasus kopi maut sudah telanjur menjadi konsumsi publik. Sulit dipungkiri sebagaimana pula terbaca dari pandangan sejumlah kalangan, bahwa sejak awal perkara ini lebih berkesan, menyedot perhatian melalui sorotan media. Ketika sering terbesit berbagai ”missing link” dalam praktiknya dari hari ke hari, masyarakat lantas tampak kian tertarik untuk menyimaknya.
Dalam perkembangannya respon publik terbelah, kadang juga diwarnai tudingan keberpihakan entah pada terdakwa atau korban. Meski penegakan hukum mestinya dipahami paling utama demi memenuhi kewajiban; bukan hanya atas hak korban memperoleh keadilan, tapi juga hak terdakwa mendapatkan (pertimbangan) keputusan hukum berdasar hasil pembuktian yang benar-benar senafas dengan KUHP plusKUHAP berikut seperangkat aturan terkait, serta logika hukum yang tegak.
Beban pembuktian tentunya kewajiban jaksa penuntut umum (JPU) di persidangan. Dalam hal ini, JPU berkewajiban menggali kebenaran materiil perkara sehingga keadilan bisa ditegakkan secara optimal. Bukan sekadar demi orientasi menang-kalah. Kendati publik bukan mustahil akan beranggapan JPU kalah atau menang nanti. Pasalnya, bukan hanya rasa keadilan bagi (pihak) korban dan nasib terdakwa yang dipertaruhkan, melainkan lebih berkenaan dengan masa depan penegakan hukum di kemudian hari.
Sama halnya sikap JPU dalam ikhtiar penggalian kebenaran materiil selama persidangan. Mengingat, perkara ini kadung menyita perhatian khalayak luas bahkan sempat pula mengundang animo puluhan calon jaksa, sehingga diharapkan bisa memberikan pembelajaran yang sungguh bermakna dalam banyak aspek. Bukan sebatas menikmati sorotan kamera selama disiarkan real time di layar kaca.
Nah, sebagai bagian masyarakat yang seharusnya ikut mengontrol proses hukum termasuk persidangan kasus kopi maut ini, rasanya kita patut mencermati berbagai hal terkait JPU di ruang sidang. Dengan tanpa harus menyitir pokok materi perkaranya. Sementara, hendaknya dipahami status terdakwa di pengadilan, sebagai lanjutan rangkaian proses pro justitia sebelumnya oleh kepolisian, telah memberikan beban tersendiri bagi pihak bersangkutan.
Ketika publik terkondisikan intens mengikuti persidangan, kiranya pantas sejenak bertanya-tanya antara lain jika di antara JPU beraksi kurang sejalan dengan ekspektasi. Semisal dalam beberapa kesempatan sebelumnya, kesannya seolah tengah praktik beracara layaknya para mahasiswa hukum sedang menjalani kegiatan semacam PKL belaka. Ruang persidangan mungkin bukan tempat sakral, tapi bukan sertamerta leluasa bersikap yang bisa dibilang tidak elegan seperti guyonan bernada meledek dan semacamnya.
Cara JPU bertanya untuk mendalami keterangan dari ahli pun tidak jarang cenderung terkesan merendahkan pihak yang ditanyai secara personal. Sementara, hanya soal cara duduk Ahli pernah begitu dipersoalkan. Beruntung hal demikian tampak sedikit berubah saat persidangan belakangan, mungkin karena lontaran kritik maupun keberatan masyarakat.
Tak pelak, dalam beberapa persidangan eksyen di antara JPU memicu kericuhan, hingga Majelis Hakim terpaksa harus meredakan bahkan menskors persidangan. Boleh-boleh saja itu barangkali diperagakan sebagai bagian strategi. Namun, tidak adakah gaya-gaya lain yang lebih mengademkan sehingga masyarakat benar-benar dapat memetik pelajaran seutuhnya?
Yang membikin kepala gatal, pada satu episode persidangan, di antara JPU bertanya hendak meminta pendapat Ahli dengan lebih dulu menyampaikan uraian-uraian. Jika tidak salah ingat rangkaiannya yang dilontarkan berikut ini (monggo koreksi jika tidak pas):
- Korban dan terdakwa berteman sepanjang kurun tahun sekian hingga tahun sekian.
- Terdakwa menganggap korban sebagai teman (tempat) yang nyaman untuk berbagi.
* Lalu, jika kematian korban (di TKP) tidak terprediksi oleh terdakwa, seharusnya terdakwa menunjukkan ”reaksi yang kuat”.
Pertanyaan JPU: Apa (simpulan) pendapat Ahli tentang hal itu? Ahli meresponnya tidak melihat bahwa untaian statemen tersebut (inheren dan koheren) guna menarik sebuah simpulan.
Masyarakat yang telanjur menaruh perhatian untuk terus menyimak persidangan kasus ini, tentu berharap para JPU dapat berbuat lebih barnas. Diiyakan atau tidak, sering mengemuka pertanyaan-pertanyaan dalam upaya merekontruksi (dakwaan) perkara dengan logika macam itu. Padahal, bukankah logika hukum memiliki bangunan tersendiri dibandingkan kerangka berpikir umum?
Terlebih jangan lupa ada elemen yang kudu senantiasa diperhatikan seksama. Yakni, pembuktian yang berpijak pada serangkaian alat-barang bukti, fakta, data, maupun dalih hukum yang sahih, teruji, dirajut sistematis dan seterusnya. Bukan sekadar kerap berupaya mendapatkan penguat membangun dakwaan dari keterangan Ahli dengan bermain logika, misalnya:
- Si Fulan doyan makan wortel
- Kelinci doyan makan wortel
Simpulan: Si Fulan adalah kelinci (sebatas contoh), kemudian dijadikan pertanyaan untuk memperoleh justifikasi.