Warta panas tentang penahanan BW oleh Bareskrim mencuat ke ruang publik. Situs berita resmi Kompasmerilisnya sejak pukul 14.59 WIB, disusul serangkaian liputan terkait lainnya kemarin. Penahanan atas pimpinan KPK nonaktif itu, apalagi ternyata kemudian dibatalkan setelah penyidik sempat menyodorkan suratnya untuk ditandatangani BW, dapat memicu beragam spekulasi.
Tapi, suka atau tidak, publik telanjur menangkap kesan sumir. Bahwa sejumlah oknum Bareskrim masih suka melancarkan aksi berlebihan. Terutama dalam menyikapi setiap perkembangan bagian rentetan kasus BG, sehingga membuat situasi berpotensi tidak kondusif. Walau mungkin penyidik menetapkannya dengan kesaksian atau bukti tertentu. Sebab, penetapannya tidak diawali komunikasi persuasif lebih dulu lewat media.
Bukan mustahil keputusan demikian, berbenang merah dengan aspirasi yang memertanyakan gelar perkara BG yang ndilalah juga ditunda tanpa kepastian. Masalah itu sempat dipertanyakan oleh pegiat lembaga bantuan hukum, dalam acara dialog yang menghadirkan pula unsur-unsur Polri, DPR, serta pihak-pihak lain di satu televisi swasta; menjelang pelantikan BG sebagai Wakapolri belum lama ini. Pertanyaannya, saat kepolisian berencana menggelar perkara BG secara terbuka, akankah bersikap fair dengan juga buka-bukaan melaksanakannya untuk kasus AS dan BW?
Pembatalan gelar perkara itu pun bersusulan dengan beredarnya ”dokumen fotokopi” kasus BG limpahan dari Kejagung sebelumnya. Isu tersebut menjadi santapan empuk, termasuk bagi sebagian anggota dewan yang lantas menjadikannya bukan lagi sebatas kritik membangun, tapi lebih berkesan semakin melemahkan lembaga antirasuah. Mungkinkah gelar perkara dan ”dokumen fotokopi” saling berkaitan, untuk kemudian menguatkan alasan penahanan (dimulai) terhadap BW? Jika memang saling bertalian, maka boleh dibilang Polri dalam hal ini Bareskrim keliru langkah.
Entah mengapa semua pihak terdiam, ketika ”dokumen fotokopi” tersebut (di-) bocor (-kan) secara luas. Media juga kesannya bungkam seolah terhipnotis, dengan muatannya yang terdiri foto sprindik KPK berikut gambar-gambar yang lain. Sebarannya juga tampaknya ditelan mentah-mentah. Tanpa sejenak terbetik pertanyaan, bukankah dokumen-dokumen itu bertanda "Rahasia untuk Kepentingan Kejaksaan Agung" selain perlu dipertanyakan lebih jauh?
Sungguh disesalkan keberadaannya diobral sedemikian rupa. Hal ini bukanlah cermin jaminan kebebasan akses informasi bagi publik. Terlebih karena terselip interes berkenaan dengan kasus yang menjadi polemik. Kita pun jelas masih ingat, ketika sprindik Anas Urbaningrum beredar dengan tidak semestinya, pelbagai kalangan begitu gaduh memersoalkannya, hingga berbuah peringatan bagi pimpinan KPK dulu. Sementara, kala naskah UN diduga bocor, protes keras segera bermunculan sampai ancaman blacklist terhadap sekolah bersangkutan.
Akankah fenomenanya juga seperti gambaran yang dicontohkan, Guru Besar Hukum UI, Leobby Loqman, tentang publikasi BAP tersangka hasil penyelidikan? Loebby menyatakan bahwa pada akhirnya upaya macam itu bisa dimanfaatkan (tersangka) untuk mencari kelemahan-kelemahan hasil penyidikan sebelum kasusnya disidangkan.
Rangkaian ”dokumen fotokopi” pernah terpublikasi dalam situs Kringnews.com dan kicauan @CeritaKPK di media sosial. Foto-foto yang dipublikasikan pemilik akun itu sendiri, rerata hanya di-retweet tak sampai oleh 5 pengguna lain. Meski akun tersebut memiliki 1.937 pengikut. Di pihak lain, salah seorang Kompasianer, Muhammad Dahroji, mengritisi temuannya dalam tulisan berjudul Gunakan BBM, Cara Oknum di Divisi Humas Mabes Polri untuk Sesatkan Publik tentang informasi BBM yang diduga bersumber dari Polri.
Konfrontir Pengakuan Plt. Pimpinan KPK dalam Acara Mata Najwa
Menariknya, pada selisih waktu yang berdekatan, program eksklusif Mata Najwa episode Membuka Dapur KPK(22/4), menyuguhkan tontonan yang asyik. Pembuka reportasenya yang tersaji semisal melongok betapa ketat pengawasan terhadap kinerja civitas KPK beserta pihak-pihak terkait, baik selama menangani perkara, menggali keterangan terperiksa dugaan korupsi, dan lain-lain; rasanya telah menepiskan tudingan miring bahwa KPK sembarangan dalam bekerja.
Lebih seru lagi, sesi dialog bareng Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dan Wakil Ketua KPK, Zulkarnaen; Komisi III DPR Benny K Harman, Muzammil Yusuf dan Sosiolog, Imam Prasodjo, sekaligus anggota Tim 9 yang dibentuk guna membantu penyelesaian kisruh BG-KPK mutakhir. Dalam kesempatan itu, Ruki melontarkan tuturan tak kalah meyakinkan soal ”dokumen fotokopi” kontroversial tersebut.
Awalnya rada kesulitan mencari cuplikan lengkapnya. Sebab, biasanya akun Twitter Mata Najwa yang menampilkan livetweet petikan statemen narasumber. Ternyata pernyataan dari Plt. Ketua KPK yang juga pernah mengenyam pengalaman sebagai anggota Polri itu, tidak muncul. Setelah mencari informasinya beberapa saat, ditemukan video berjudul Membedah Dapur & Nyali KPK-Eksklusi di Mata Najwa yang dilansir netizen LawanLUPA di Youtube akhirnya. Rekamannya keseluruhan berdurasi 1:01:28, sedangkan pengakuan Ruki bisa disimak pada menit 55:58-56:49. Inilah cuplikannya:
”Saya jangan dikasih sedikit, Pak. Ketika pimpinan KPK yang lama memutuskan, kemudian dieksekusi oleh kami yang baru, untuk menyerahkan kasus ini (maksudnya: kasus BG) ke Kejaksaan Agung; telah dilakukan pembicaraan yang sifatnya teknis, antara Deputi kami dengan Jaksa Agung Muda. Dan ketika itu dinyatakan dengan segala kelengkapannya, mereka mengatakan bahwa perkara ini telah lengkap. Penyerahannya kepada Jaksa Agung. Setelah diserahkan kemudian oleh Jaksa Agung, diserahkan kepada kepolisian, dan karena memang ada siapa yang lebih dulu menangani, kemudian timbul masalah seperti itu. Saya katakan, jangan tanyakan ke KPK, tanyakanlah kepada Kejaksaan Agung. Karena Kejaksaan Agung sudah menyatakan itu lengkap.Ada bukti-bukti tertulis berita acara penerimaannya.”
Dari sini, bocornya ”dokumen fotokopi” yang ironisnya tampak disambut layaknya angin surga, tanpa disadari justru bisa membikin citra Polri makin terpuruk. Apalagi, belum terlihat sinyalemen kepolisian untuk sekadar menepisnya, bahkan mengusut siapa pembocornya. Taruhlah meresponnya dengan keberatan, bagaimana pun penegak hukum yang bekerja secara profesional dan bukan dengan landasan opini publik, tidak mungkin akan melakukan cara-cara tidak elegan demikian.
Referensi bacaan:
-Youtube Cuplikan Pernyataan Ruki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H