Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

[Sarapan Pagi] Sejenak Belajar kepada Petani

8 April 2015   09:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428457844102590543

[caption id="attachment_377387" align="aligncenter" width="400" caption="PANEN: Ilustrasi petani sedang panen dengan alat sederhana (Sumber: http://arkasala.net)"][/caption]

Udara pagi begitu dingin menusuk tulang. Sekeliling terasa lembab, meski di dalam rumah. Ketika melangkah ke luar, rerumputan tampak basah. Rupanya hujan semalam menyisakan butiran-butiran cair. Bukan hanya membilas hamparan tanah dengan aroma sejuk yang menyeruak. Tapi, juga membuat genangan-genangan kecil di sejumlah petak sawah yang telah dipanen. Ya, musim panen pertama sudah tiba.

Saya katakan panen pertama, dengan kemungkinan akan disusul panen kedua dalam musim hujan kali ini. Mudah-mudahan. Dua-tiga tahunan ini petani di kampung memang berkesempatan menanam padi dua kali. Itu pun berkat Gusti Tuhan Memerpanjang musim penghujan. Entahlah apakah sekarang seperti tahun-tahun sebelumnya, belum dapat dipastikan.

Maklumlah, umumnya sawah hanyalah sawah tadah hujan, dengan pergantian musim yang sulit diprediksi. Sejak zaman baheula, rasanya pemerintah yang sudah berganti-ganti, tak satu pun terpikir untuk membuat irigasi. Andaikan masyarakat memertanyakannya, alasan pemda yang mudah ditebak, bahwa daya tampung sungai tidak memadahi. Galibnya dijumpai pada sebagian besar daerah Madura. Buktinya sungai-sungai yang tidak seberapa kapasitasnya, segera mengering di musim kemarau. Meski desa lain yang cukup berdekatan, telah memiliki mesin pompa besar setelah pengeboran mata air di tengah lahan jauh dari sungai.

Aih, sekelompok orang mulai beraktivitas di tengah sawah yang kuyup pagi-pagi buta tadi. Mereka sedang meneruskan ngerit tumpukan batang padi yang belum rampung. Akibat hujan mengguyur deras sejak menjelang petang. Reda sejenak hingga malam, lalu hujan lagi tengah malam.

Proses pemetikan biji padi boleh dibilang masih sedikit modern di kampung. Dengan menggunakan alat sederhana, dipasang tabung kayu berpaku permukaannya, menggunakan gir dan rantai yang diikat pada sebilah bambu. Tabung paku itu berputar dengan cara menginjak bilah bambu itu, layaknya mengayuh sepeda setengah putaran berulangkali. Lalu batang-batang padi ditempelkan pada roda berpaku sehingga biji-bijinya terpisah.

Ketika mengamati sekelompok petani yang beraktivitas kala pagi-pagi buta tersebut, bahkan saya bisa memastikan mereka belum sarapan, terpikirkan betapa jalan hidup mereka diam-diam sungguh luar biasa. Tak peduli dalam cuaca panas dan hujan. Dalam banyak hal, rasanya kita memang perlu belajar kepada mereka.

Mereka tak biasa mengeluh, sesulit apapun keseharian yang mesti dijalani. Walau pemerintah kerap terlewatkan dalam memerhatikan kondisi mereka. Toh bantuan-bantuan yang santer diberitakan media, tak sepenuhnya mereka nikmati. Hanya bantuan pupuk dan benih padi tahun kemarin yang sudah tidak mereka rasakan lagi kini. Sementara, banyak tanaman padi roboh akibat diterjang angin yang tentu kian menambah beban kerja petani pada musim tanam sekarang.

Yang sering membuat benak bertanya-tanya, sekalipun nyata mereka tidak berkecukupan memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi mereka tetap bisa bercocok tanam. Padahal, bekal modal bertani relatif besar di zaman sekarang. Baik untuk membeli pupuk, membajak sawah dan keperluan lainnya. Tak pelak, kebanyakan mereka masih bekerja sebagai buruh tani. Dan mereka senantiasa menikmatinya dengan penuh syukur.

Jika kaum elit yang selalu mengadu akal demi kepentingan pribadi dan ramai diberitakan hampir saban hari, sedikit saja meluangkan waktu untuk melongok mereka, lalu benar-benar serius memikirkan upaya perubahan nasib mereka menjadi lebih sejahtera, barangkali taraf hidup mereka jauh lebih membaik saat ini. Swasembada pangan pun rasanya bukan lagi sekadar wacana kosong.

Selamat beraktivitas jangan lupa sarapan dan tetap menjaga kewarasan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun