Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Saat (Ingin) Menjadi Guru, Menulislah

8 November 2014   15:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda mungkin bertanya-tanya terkait judul di atas. Sekurangnya Anda tergelitik untuk balik tanya, really? Barangkali pula Anda tergugah menanyakan, apa hubungannya (ingin) menjadi guru dengan menulis? Haruskah begitu? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bila Anda lontarkan, bakal lebih merepotkan saya dalam menemukan jawaban yang seharusnya dapat memuaskan Anda dan jelas tidak gampang.

Saya tidak akan menggurui Anda tentang berbagai kemungkinan alasan yang bisa jadi mengada di balik judul tulisan ini. Lagi pula saya memang bukan guru seperti di antara Anda kini. Rasanya, begawan pendidikan seperti Om Sukanto Tanoto beserta para guru binaan Tanoto Foundation, atau guru-guru aktif di pelbagai daerah yang lebih punya kapasitas menjelentrehkannya. Saya hanya ingin berbagi dua sisi dari sejumput pengalaman yang mungkin relevan. Namun, sebelumnya perlu saya ingatkan bahwa, saya tidak membubuhkan kata ”harus” di sela-sela label torehan pena ini lho.

Nah, ijinkan saya memulainya dari sisi kisah nyata yang pernah saya alami dahulu kala (seperti dongeng zaman kuno saja, yo?). Sepenggal lakon yang tampaknya berbenang merah dengan guru dan menulis. Selanjutnya mudah-mudahan turut menyumbangkan sedikit perenungan, semisal mengenai pentingnya guru menulis, sambil menikmati secangkir wedang kopi hot atau teh hangat ketika senggang.

Ceritanya, pada sisi perjalanan jadul saya beberapa tahun lalu, saya sempat susah bingit memperoleh pekerjaan sekian lama. Jangankan gawe yang kontras dengan latar belakang pendidikan saya, panggilan wawancara untuk job yang linear dengan ijazah saja, tak kunjung datang. Baik via telepon, email, apalagi surat.

Meski saya berijazah keguruan dan kependidikan, lalu mengajukan lamaran kerja untuk posisi guru atau staf pengajar di lembaga-lembaga tertentu, namun tak satu pun yang membuahkan hasil. Padahal, saya telah menggenapi berkasnya dengan piagam, sertifikat dan lain-lain. Nilai IPK saya juga relatif melebihi standar ketentuan penerimaan kerja masa itu.

Realita demikian bagi saya, bagian keberuntungan yang sementara belum berpihak kepada saya belaka. Saya juga menganggapnya karena masih tersisa kekurangan pada diri saya. Karena itu, saya terus berusaha sembari berintrospeksi mendalam ke arah perbaikan. Hingga akhirnya terbetik pula inisiatif, saya harus menulis!

Yang terbersit dalam benak saat itu, saya harus bisa membuktikan –setidaknya kepada diri sendiri– bahwa, saya mampu berkarya di bidang nonkeguruan. Bahwa saya tidak hanya bisa mengajar sebagai guru, tapi saya juga bisa menulis. Walau saya tidak pernah mengenyam studi yang berkaitan dengan kepenulisan. Perkara hasil tulisan saya jelek sekalipun, itu tidak masalah. Orang-orang tentu akan lebih memakluminya, ketimbang mereka yang lulusan konsentrasi bahasa, sastra dan semacamnya namun urung menulis dengan baik.

Lebih dari itu, saya hanya ingin menambah kualifikasi saya dengan kreativitas ”asing” tersebut. Dengan begitu peluang bagi saya akan semakin terbuka untuk memperoleh pekerjaan yang layak, tanpa larut berambisi menjadi PNS dengan iming-iming yang selalu menggiurkan. Saya pun tidak pernah berpikir apakah harapan demikian bakal terwujud atau tidak. Saya hanya berikhtiar semampunya untuk berkarya, berkarya dan berkarya.

Inisiatif tersebut juga bukan pilihan gampang. Ketika coba mengirim tulisan ke surat kabar, saya memahami persaingan tentu sangat ketat. Jelas banyak penulis yang lebih jago dibandingkan saya yang hanya pemula. Lebih-lebih koran yang saya pilih adalah media nasional yang familiar bagi pembaca. Tapi, hal itu bukan pula alasan bagi saya untuk mengurungkan niat yang sudah bulat.

Usai terus belajar menulis dan mencoba dengan perjuangan cukup melelahkan, akhirnya tulisan saya bisa nyangkut di halaman media idaman. Mulanya saya memang berkirim tulisan hanya beberapa paragraf, untuk kolom mini yang tersedia (bukan kanal surat pembaca lho). Dari satu tulisan saya yang berhasil nongol, tulisan-tulisan anyar saya berikutnya kemudian muncul beberapa kali di lain hari. Saya pun lantas coba menulis di surat kabar lain dan kebetulan dimuat. Walau masih untuk segmen yang relatif terbatas. Dan saya rajin mengumpulkan guntingan tulisan yang terilis di sejumlah media.

Kejutan aktivitas menulis.

Satu hari, saya menjajal lagi menyampaikan lamaran kerja ke sekolah yang tercantum di kolom iklan media cetak. Kali ini saya melengkapi berkasnya dengan fotocopy beberapa tulisan yang diterbitkan koran sebelumnya. Dalam hati saya membatin, jika surat lamaran saya masih saja ditolak nanti, saya akan berhenti melamar kerja untuk waktu yang tidak ditentukan. Bukan apa-apa, membuat lamaran kerja juga membutuhkan biaya. Sedangkan saya hidup mandiri.

Kira-kira tiga hari setelah menyampaikan lamaran kerja, tanpa diduga saya mendapat panggilan interview dari sekolah bersangkutan. Pihak kepala sekolah sendiri yang mewawancarai saya kala itu. Yang rada mengejutkan, selama perbincangan ia lebih banyak membicarakan ”kemampuan” lain saya, yakni menulis di sejumlah koran dan sangat mengapresiasinya.

”Beruntunglah Anda suka menulis di surat kabar. Dengan begitu, Anda berkesempatan mem-follow up dinamika pendidikan dan sekolah, berikut masalah-masalah yang menyertainya. Termasuk mengritisi kebijakan edukatif ke arah kemajuan di masa depan” tutur kepala sekolah tamatan salah satu kampus favorit di Surabaya itu. Akhirnya saya diterima bekerja di SMP swasta unggulan tersebut. Dan saya terus menulis dengan mencoba rubrik yang lebih gede.

Menulis, sempat pula memberi kejutan tatkala saya nyaris tidak bisa mudik lantaran ada penundaan fee bulanan. Jika sudah begitu, saya tidak dapat berbuat apapun. Mengingat, guru sejatinya memang bukan sebatas profesi (dengan kompetensi khusus layaknya dokter), tapi juga lebih bersifat pengabdian. Sementara, mudik juga menjadi tradisi yang seakan mustahil terlewatkan. Lebaran tidak bersama keluarga di kampung halaman, akan terasa sangat berbeda.

Sepulang mengajar saya mampir di kios koran dan majalah yang tak jauh dari tempat saya bekerja, untuk menumpang melongok-longok berita hari itu. Siapa tahu nama saya tertulis di salah satu halamannya. Di luar perkiraan, satu artikel saya terbit dengan honor yang bisa diambil di kantor redaksinya hari itu. Sekali lagi, hanya berkah yang tak terduga.

Hanya saja, membicarakan kegiatan menulis dengan kompensasi demikian rasanya terlalu pragmatis. Masih banyak daya manfaat dari tulis-menulis untuk diri sendiri, terlebih kepentingan sosial sekitar dan masyarakat luas. Dalam hal ini, saya pernah menerima sepucuk surat kaleng gara-gara satu tulisan mini saya di surat kabar, yang menyorot tajam praktik les tambahan oleh guru yang terindikasi sebatas untuk komersialisasi hehehe...

Pada sisi lain, baru-baru ini saya tidak sengaja menemukan tulisan lawas saya berkenaan dengan event gelaran Jawa Pos, seputar guru dan menulis beberapa tahun silam, diposting ulang di satu blog. Saya mengapresiasinya, lebih dikarenakan hendak angkat topi atas rasa penghargaannya, hingga blogger tersebut merasa perlu menuliskan kalimat ”Digunting dari Harian Jawa Pos Minggu, 24 Feb 2008” di akhir postingnya. Jika berkenan monggo tengok di sini.

Terlepas dari semua itu, kiranya menulis niscaya bagi siapapun yang (ingin) menjadi guru. Menulis merupakan bagian tak terpisahkan dari peran dan tugas pendidik. Bukankah menulis adalah elemen kompetensi pengajar dalam transfer maupun transformasi potensi kognitif, afektif dan psikomotor; atas pembelajaran paling mendasar yang meliputi kegiatan membaca, menulis, berhitung, dan seterusnya bagi sekalian peserta didik?

Belum lagi, kebijakan sertifikasi guru yang berorientasi spesialisasi dan peningkatan kualitas guru, mensyaratkan pula kemampuan tulis-menulis belakangan. Taruhlah pembuatan karya tulis ilmiah untuk semakin menegaskan pengukuhannya dan insentif tambahan gaji. Bagi guru yang sama sekali tidak mengakrabi dunia tulis-menulis tentu bakal mengalami banyak kesulitan untuk kemudian bukan mustahil tergoda mengambil jalan pintas.

Waba’du, teramat disayangkan bila para sedulur menghabiskan kesempatan menjadi guru, hanya dengan pergi-pulang mengajar ke sekolah, tanpa memanfaatkan sisa waktu untuk menulis yang menguarkan sensasi lebih seru di abad digital sekarang. Dengan menulis guru masih bisa terus berkarya, seandainya berhenti menjadi guru sewaktu-waktu layaknya saya kini. Tanpa disadari pula sebenarnya menulis adalah bagian identitas guru itu sendiri: tiada henti belajar dan berbagi pelajaran yang bermanfaat, meski barangkali orang memandang kita penulis ecek-ecek. Are you ready?

Twitter: @dnanshoki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun