Obrolan seputar listrik token mulanya sayup-sayup menyeruak. Sebelumnya tulisan berjudul Enak Mana Pakai Token Listrik atau Bayar Bulanan? pantauan Mbakyu Rokhmah Nurhayati Suryaningsih di lingkungan sekelilingnya. Ulasannya bertolak dari pengamatannya terhadap keluhan para tetangga sekitarnya yang belum melek teknologi berkenaan dengan pemakaian listrik pulsa. Lalu, tulisan bertajuk Listrik Prabayar? Ribet! torehan Om Ryan M juga di Kompasiana terkini.
Pertanyaan kemudian ikut menyembul dalam pikiran, ada apa dengan listrik ”pintar” belakangan sebenarnya yo? Ketika coba menelisik lebih lanjut, ternyata banyak tulisan lain terdahulu yang hampir semua mengungkapkan tentang keluhan, atas kebijakan PLN yang diluncurkan sekitar tahun 2009 silam tersebut.
Ditambah bisik-bisik di jejaring sosial lainnya. Saya menemukan sekurangnya dua kanal yang cukup riuh memerbincangkan dan memersoalkannya. Baik terkait problematika selama penggunaan listrik token, lebih-lebih selama tahap pemasangannya. Antara lain, tengok saja luapan keluhan sekalian Facebooker di sini. Keriuhan terasa juga lantaran pertanyaan-pertanyaan mereka tidak mendapatkan tanggapan. Lantas, fakta yang tak kalah membikin dahi berkerut di sini. Belum lagi, seabrek kajian ilmiah di lingkungan civitas kampus perihal listrik prabayar.
Benak pun jadi teringat beberapa hal cerita tetangga yang sedang mendaftar pemasangan listrik pulsa belum lama ini. Awalnya ia menceritakan perbedaan tarifnya yang berbeda antara keterangan dalam brosur resmi PLN dengan kenyataan di lapangan. Jika berdasar selebaran promo, seharusnya ia hanya dikenakan biaya Rp 700ribuan untuk pasang listrik berdaya 900VA. Tapi kemudian ia kudu mengeluarkan duit Rp 2 jutaan, sebab pihak kantor PLN setempat mengarahkannya kepada pihak ketiga yang disebut pemborong dari CV tertentu, guna pemasangan instalasi di rumahnya, berdalih ketetapan SNI yang mesti diindahkan (calon) pelanggan, sehingga total beanya membengkak dari ketentuan semula.
Informasi yang ia terima berikutnya, petugas kantor PLN setempat menjelaskan bahwa, meski ia sudah melakukan registrasi, ia kemudian masih harus menunggu dalam kurun waktu yang tidak bisa dipastikan. Alasannya, perlengkapan yang akan dipasang di rumah (calon) konsumen, dalam hal ini kilometernya dan mungkin alat-alat lainnya belum tersedia. Waktu itu, tetangga kampung saya tersebut masuk dalam antrean delapan ratusan pendaftar. Sedangkan perlengkapan yang baru dikirim oleh instansi PLN di atasnya hanya seratus buah (untuk seratus calon pengguna terdaftar). Kok bisa? Dan listrik ”pintar” tak kunjung terpasang di rumahnya hingga sekarang.
Dari serangkaian temuan demikian, kiranya PLN patut segera meninjau ulang kebijakannya terpaut listrik token. Paling tidak, jika inovasi yang dikehendaki akan lebih memberi kebermanfaatan bagi khalayak luas itu tetap dipertahankan, mesti lekas dilakukan penelusuran empiris maupun pengawasan internal lebih seksama di lapangan. Tanpa bermaksud apriori, adanya masa tunggu yang tak jarang sekian lama misalnya, bukankah rentan membuka kesempatan terjadinya praktik-praktik yang tidak diharapkan, sehingga akan turut pula memicu kesan miring dari masyarakat bahkan merugikan PLN sendiri? Ujung-ujungnya listrik token kenyamanannya belum layak diteken.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H