Aku berlari, terus berlari menyusuri padang rumput penuh bunga bermekaran. Dandelion berterbangan tertiup angin senja, mengisyaratkan kebebasan yang sangat kudamba. Jantungku berdegup kencang, mencoba berpacu dengan hal yang bahkan tidak aku ketahui. Apakah waktu yang kian menipis? Kegelapan yang sebentar lagi datang? Atau aku hanya berpacu dengan pikiranku sendiri? Entahlah, akan kucari jawabannya di lain cerita.Â
Tanpa kenal lelah, kakiku terus bergerak, melaju menuju masa depan. Tidak sekalipun kulihat ke belakang, aku tidak peduli apa yang ada disana. Sakit mulai terasa di betisku, memperlambat laju tanpa sanggup menghentikanku. Rasa sakit ini bukanlah apa-apa dibanding hal yang menantiku di depan sana, kuharap. Salah satu alas kakiku lepas dalam pelarian, menorehkan beberapa goresan di telapak kaki kananku. Tetap saja, itu tidak mampu menghentikanku.
Sudah jauh rasanya, noda darah mewarnai jejak yang aku tinggalkan. Mataku kembali menerawang, hingga ia menangkap keberadaan sebuah pohon diujung padang. Jantungku berdetak lebih kencang, seolah tau bahwa apa yang dinanti telah tiba. Kupercepat lagi aksi kejar-kejaran ini. Pohon itu terlihat semakin besar setiap jarak yang aku kikis dengannya, berdiri kokoh dengan daun hijau rimbun. Warna merah dari apel ranum menambah keindahan pohon tersebut. Layaknya mawar di tengah semak belukar, mencolok, mengambil atensi siapapun yang menaruh pandang padanya.
Aku melambat, perlahan kakiku menemukan ketenangan setelah lama saling berkejar-kejaran. Lalu, aku mendongak, pemandangan apel merah itu mengalihkan pikiranku, hanya sejenak. Berniat mengambil, mencoba nyala yang menggoda. Aku naiki kursi panjang yang berada tepat di bawah pohon itu, entah siapa yang repot-repot meletakkan kursi ini disini. Aku sejenak terdistraksi, bagaimana bisa ada sebuah kursi di padang rumput ini? Letaknya pas pula di bawah pohon apel yang rindang. Seolah-olah tau niatan siapa saja yang mendatangi pohon itu, ia mempermudah prosesnya. Tidak sulit bagiku menjangkau beberapa apel karena banyak yang menggantung diujung dahan. Kuambil tiga buah, mulutku berair hanya dengan menatapnya.
Baru saja aku ingin menyantap apel pertama, kakiku menginjak sesuatu dibawah kursi yang aku duduki, keras, seperti sebuah buku. Benar saja, aku melihat buku dengan sampul kulit bewarna cokelat tua, ada sedikit noda darah yang menempel dari kakiku. Kujangkau buku tersebut, kucermati perlahan, tidak ada judul yang tertulis. Hmm, apakah ini buku harian seseorang? Aku menggeleng dan membuka lembar pertama, apel yang kuambil dengan usaha tadi kubiarkan tergeletak begitu saja di sampingku.Â
Dugaanku benar, itu buku harian seseorang, walau tak kutemukan satupun nama atau inisial yang merujuk pada pemiliknya disana. Aku membaca setiap kata, awalnya terasa membosankan, tapi lama-kelamaan aku hanyut dalam tulisan itu. Isinya ditulis tangan dengan huruf miring dan rapat, sampai-sampai aku kesulitan menemukan spasi diantara beberapa kata. Siapapun yang menulis dibuku harian ini, bagaikan dikejar sesuatu, terlihat dari tulisannya yang semakin berantakan mendekati ujung.
Kisahnya sederhana, tidak ada hal istimewa, hanya tentang keseharian si penulis yang selalu berpacu dengan tenggat waktu. Namun, aku merasa terhubung. Entah karena kisahnya yang menggambarkan orang biasa, atau ada koneksi pribadi yang tersalur kesana. Bahkan, tidak kusadari sudah puluhan kali kubalik lembaran buku itu, hingga aku menemukan kekosongan. Loh, mana lanjutan ceritanya? Keningku berkerut, dalam, kubalik lagi lembaran buku itu dengan tergesa, aku harus menemukan akhir cerita ini. Sedikit ganas aku melakukannya, berambisi memenuhi rasa penasaranku. Lalu, secarik kertas terjatuh ke pangkuanku. Kuraih, ada sebuah kalimat, di sana tertulis dengan huruf kapital, AKU SEDANG BERSAMA JEDA.
Aku terdiam sambil terus melihat kalimat disecarik kertas itu. Jeda? Lama aku berpikir tentang maknanya. Kulihat kembali diriku, kemudian mendesis setelah menyadari betapa kacaunya aku. Sebelah kaki yang dipenuhi luka, pakaian lusuh dengan berbagai bercak, dan aroma tubuh yang jauh dari kata sedap. Mungkin saja, aku perlu sedikit lunak pada diriku, tidak ada salahnya sejenak mengambil jeda bukan? Toh satu-satunya yang menjadi sainganku adalah diriku sendiri. Selama aku tidak menyia-nyiakan waktuku, beristirahat bukanlah sebuah dosa.
link: https://bit.ly/KONGSIVolume1Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H