Mohon tunggu...
Husnaini Novitasari
Husnaini Novitasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

Maju kedepan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Dini

16 November 2020   13:37 Diperbarui: 16 November 2020   14:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan menurut konsep Susenas adalah seseorang mempunyai istri (bagi laki-laki) atau suami (bagi perempuan), baik tinggal bersama maupun terpisah. Termasuk mereka yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara dan sebagainya), mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami-istri. Perkawinan idealnya dilakukan pada saat lakilaki dan perempuan sudah siap secara fisik, mental maupun psikis untuk membina rumah tangga ( Badan Pusat Statistika, 2018). Pernikahan dini didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.

Pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Dalam sepuluh (10) tahun terakhir, hanya ada penurunan kecil untuk perkawinan anak di Indonesia yaitu 3,5 poin persen. Pada Oktober 2019, Pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di tahun 2018, 11,21 persen perempuan 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun. Pada 20 provinsi prevalensi perkawinan anak masih ada di atas rata-rata nasional. Provinsi dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi adalah Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Ada lebih dari 1 juta anak perempuan yang menikah pada usia anak. Menurut angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah 3 provinsi yang paling tinggi. Dalam 10 tahun, prevalensi perkawinan anak di daerah perdesaan menurun sebanyak 5,76 poin persen, sementara prevalensi di daerah perkotaan hanya menurun kurang dari 1 poin persen (Gaib Hakiki, 2020)

Berikut ini dampak dari pernikahan dini adalah sebagai berikut:

  • Ekonomi, perkawinan anak sering kali menimbulkan adanya 'siklus kemiskinan' yang baru. Anak remaja (<15--16 tahun) seringkali belum mapan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah. Hal tersebut menyebabkan anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarga khususnya orang tua dari pihak laki-laki (suami). Akibatnya orang tua memiliki beban ganda, selain harus menghidupi keluarga, mereka juga harus menghidupi anggota keluarga baru. Kondisi ini akan berlangsung secara repetitif turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga kemiskinan struktural akan terbentuk. Kecuali jika pasangan laki-lakinya jauh lebih tua dan memiliki pendidikan yang cukup tinggi, sehingga mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang layak untuk menghidupi keluarga (Djamilah, 2014).
  • Sosial, ditinjau dari sisi sosial, perkawinan anak juga berdampak pada potensi perceraian dan perselingkuhan dikalangan pa sangan muda yang baru menikah. Hal ini dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran dalam menghadapi masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/kekerasan seksual terutama yang dialami oleh istri dik arenakan adanya relasi hubungan yang tidak seimbang (Djamilah, 2014).
  • Kesehatan, berdasarkan Laporan Kajian Perkawinan Usia Anak di Indonesia, bayi yang di lahirkan oleh perempuan yang menikah pada usia anak punya resiko kematian lebih besar, dan juga punya peluang meninggal dua kali lipat sebelum mencapai usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahun ke atas. Pernikahan usia anak menyebabkan kehamilan dan melahirkan dini yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan ibu yang melahirkan pada usia dibawah 18 tahun juga memiliki resiko kematian pada bayi yaitu bayi lahir prematur dan stunting (kerdil), hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan bahkan memberikan pola asuh salah pada anak karena terbatasnya pengetahuan sifat keibuan dalam psikologi (Gaib Hakiki, 2020).
  • Psikologis, erkawinan anak berpotensi kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan trauma sampai kematian terutama dialami oleh remaja perempuan dalam perkawinan. Selain itu, remaja perempuan yang sudah menikah muda dan mengalami kehamilan tidak diinginkan akan cenderung minder, mengurung diri dan tidak percaya diri karena mungkin belum mengetahui bagaimana perubahan perannya dari seorang remaja yang masih sekolah ke peran seorang ibu dan isteri saat harus menjadi orang tua di usianya yang masih muda (Djamilah, 2014).

Pernikahan Dini dan Islam

Secara epistimologis, perkawinan dini merupakan hasil tafsir terhadap Q.S. Ath-Thalaq [65]: 4 yang mengisyaratkan iddah bagi mereka yang belum haid. Islam tidak memberikan batasan umur ideal dalam pernikahan. Perkawinan dapat dilakukan oleh calon mempelai yang belum atau sudah baligh jika telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Meskipun demikian, para laki-laki dan perempuan dan kebolehan menikahkan seseorang pada usia anak-anak. Umat Islam diperbolehkan memberikan batasan usia dalam perkawinan untuk menimbulkan kemaslahatan. Batas usia pernikahan perlu direvisi mengingat berbagai dampak negatif yang muncul akibat model pernikahan ini, misalnya masalah kesehatan reproduksi perempuan, persoalan ekonomi keluarga, hingga perceraian. Model perkawinan ini tidak dapat lagi dipraktikkan karena tidak sejalan dengan maqashid al-nikah yaitu membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah (Musfiroh, 2016).

  1. Perkawinan adalah sah, apabila diakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam perkawinan hukum Islam diantaranya (Shufiyah, 2018):
  2. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
  3. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang undang No. 22 Tahun 1956jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954
  4. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah
  5. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum
  6. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun