Mohon tunggu...
Husna Ashlihatul Latifah
Husna Ashlihatul Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Hujan Buatan DKI Jakarta: Benarkah Efektif Atasi Polusi Udara?

22 November 2023   10:42 Diperbarui: 22 November 2023   10:57 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: REUTERS (karya AMR ALFIKY)

Hari-hari berlalu, aktivitas masyarakat tak layu. Ironinya, kesibukan itu dijalani dengan embusan napas yang tidak lapang. Udara berdebu dan panas yang mengelilingi DKI Jakarta telah menjadi teman sehari-hari, walaupun kehadirannya ditolak. Kami ingin menghirup udara bersih, katanya. Untuk menenangkan masyarakat, sejenak pemerintah membuat hujan buatan untuk mengusir debu dari kota. Namun, debu kembali datang esok harinya.

Hari-hari berlalu, aktivitas masyarakat tak layu. Ironinya, kesibukan itu dijalani dengan embusan napas yang tidak lapang. Udara berdebu dan panas yang mengelilingi DKI Jakarta telah menjadi teman sehari-hari, walaupun kehadirannya ditolak. Kami ingin menghirup udara bersih, katanya. Untuk menenangkan masyarakat, sejenak pemerintah membuat hujan buatan untuk mengusir debu dari kota. Namun, debu kembali datang esok harinya. 

Sejak bulan Juli, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya mengalami penurunan secara signifikan dan menjadi isu yang cukup diperhatikan di kalangan masyarakat. Buruknya kualitas udara di Jakarta tak kunjung membaik hingga Oktober kemarin. Dilansir dari situs IQ Air, mayoritas kualitas udara yang digambarkan dengan AQI (air quality index) di Jakarta selama 4 bulan terakhir berada di kategori tidak sehat dan tidak sehat untuk kelompok sensitif. Bahkan, pada waktu tertentu, kualitas udara di Jakarta pernah mencapai kategori berbahaya. Selain itu, tingkat konsentrasi PM2,5 di Jakarta 7 kali lipat lebih tinggi daripada ambang batas yang dianjurkan oleh WHO. 

Gambar 1. AQI Jakarta Bulan Agustus (Kiri) dan Oktober (Kanan) yang Belum Kunjung Membaik (Sumber: IQAir)
Gambar 1. AQI Jakarta Bulan Agustus (Kiri) dan Oktober (Kanan) yang Belum Kunjung Membaik (Sumber: IQAir)

Sementara itu, berbagai pihak menyatakan alasan yang beragam terkait penurunan kualitas udara di Jakarta. Dilansir dari situs Kompas, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, menyatakan bahwa kualitas udara yang memburuk di Jakarta biasa terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus karena udara dari timur yang kering (1). Di sisi lain, dikutip dari situs CNBC, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyatakan bahwa buruknya udara disebabkan karena penggunaan bahan bakar pada sektor transportasi (2). Namun, berdasarkan pendapat lainnya, sektor transportasi dinilai bukan penyebab utama polusi udara. Berdasarkan analisis terbaru CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air), walaupun kemacetan berkurang sebesar 45% pada akhir pekan, tingkat polusi PM2,5 di Jakarta hanya turun 4% (3). Studi yang dilakukan CREA pada Juli--Agustus 2023 menyatakan bahwa polusi udara di Jakarta berhubungan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara dengan kontribusi sebesar 5--31% terhadap polusi PM2,5. 

Menurunnya kualitas udara akibat polusi berdampak buruk terhadap kesehatan pada berbagai kelompok masyarakat. Dampak yang paling terlihat dari polusi udara adalah penyakit pernapasan, seperti ISPA, emfisema, asma, penyakit paru obstruktif kronis, dan bronkitis kronis (4). Selain itu, pada tahun 2013, WHO menetapkan polusi udara sebagai salah satu karsinogen dan berhubungan dengan kejadian kanker paru dan kanker payudara. Polusi udara juga berhubungan dengan penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, obesitas, penyakit reproduktif, penyakit neurologis, dan gangguan sistem imun.

Merespons situasi udara yang kian memburuk, pemerintah berupaya melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan membuat hujan buatan untuk mengurangi polusi udara. Operasi TMC dilakukan oleh BMKG, BNPB, BRIN, dan TNI dengan menyemaikan natrium klorida dan kalsium oksida ke awan. Atas upaya tersebut, beberapa wilayah di Jakarta berhasil diguyur hujan sekilas. Selain itu, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya juga sempat membaik dengan mayoritas AQI berada di kategori sedang dan beberapa kategori bagus. Beberapa unggahan di media sosial juga memperlihatkan langit Jakarta yang membiru (tidak berpolusi). Namun, hujan buatan merupakan upaya yang temporer karena setelahnya kualitas udara di Jakarta kembali memburuk.

Sementara itu, hujan buatan atau penyemaian awan telah dilakukan di beberapa negara di belahan dunia dengan tujuan yang beragam. Amerika Serikat dan Tiongkok telah melakukan eksperimen hujan buatan untuk mengatasi kekeringan ekstrem di negaranya. Pada tahun 2021, sekitar 40% wilayah bagian barat Amerika Serikat mengalami kekeringan sehingga beberapa negara bagian menyepakati adanya modifikasi cuaca untuk menghasilkan hujan (5). Penyemaian awan dilakukan dengan menambahkan perak iodida ke awan sehingga meningkatkan kejadian presipitasi. Sejalan dengan Amerika Serikat, Tiongkok juga telah mengupayakan hujan buatan untuk mengatasi kekeringan pada Agustus 2022. Hujan tersebut berlangsung selama 211 jam dan mencakup wilayah seluas 1,45 juta kilometer persegi (6). Dilansir dari situs The Guardian, menurut Katja Friedrich, peneliti University of Colorado, penyemaian awan tidak akan menyelesaikan masalah kekeringan, tetapi dapat membantu.

Selain kedua negara tersebut, hujan buatan juga diupayakan untuk mengatasi asap kebakaran hutan di negara tetangga. Pada September 2019, beberapa wilayah di Malaysia terdampak asap kebakaran hutan yang dianggap berasal dari Indonesia. Penyemaian awan dilakukan dengan memberikan campuran natrium klorida dan air ke awan (7). Namun, penyemaian awan dinilai hanya sebagai solusi temporer untuk mengurangi asap. Di sisi lain, eksperimen yang menganalisis efek hujan buatan dalam mengurangi konsentrasi debu halus telah dilakukan di Korea pada tahun 2019. Eksperimen tersebut dilakukan di Laut Kuning seluas 110 kilometer dengan menebarkan perak iodida ke awan (8). Eksperimen tersebut hanya mengalami sedikit kesuksesan: partikel curah hujan berhasil meningkat di awan, tetapi tidak ada hujan atau salju yang dihasilkan.

Dalam eksperimen lain yang dilakukan di pantai barat Korea Selatan, dilakukan penyemaian awan kemudian diukur konsentrasi rata-rata partikel awan, curah hujan, serta konsentrasi debu halus. Setelah dilakukan penyemaian, curah hujan meningkat pada daerah yang terkena penyemaian. Tingkat PM10 pun menurun hingga 3 jam setelah dilakukan penyemaian. Akan tetapi, penurunan ini hanya terbatas pada daerah yang dilakukan penyemaian awan (9). Eksperimen terbaru yang dilakukan di Delta Sungai Yangtze, Tiongkok juga menunjukkan penurunan sekitar 39% konsentrasi massa partikel dengan diameter aerodinamis kurang dari 2,5 m serta konsentrasi massa zat-zat emisi seperti nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida (10). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun