Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Tingga di Desa Bersama Warga Sendang Mulyo Mengubah Perspektif

30 Oktober 2018   14:38 Diperbarui: 30 Oktober 2018   14:49 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi penduduk kawasan perkotaan, mungkin yang dibayangkan saat mendengar kata desa adalah keterbelakangan dalam taraf hidup, teknologi, dan pendidikan. 

Hal-hal itu pula yang saya bayangkan saat mendengar kabar bahwa akan diadakan kegiatan "Live In" di suatu desa di daerah provinsi Yogyakarta. Namun ternyata hal-hal tersebut tidaklah benar dan sangat jauh dari kenyataan yang ada.

Pada tanggal 19 Oktober 2018, kami mahasiswa program studi manajemen Unika Atma Jaya berangkat dari Jakarta dan BSD menuju ke desa Sendang Mulyo yang berada di daerah Sleman. Kami berangkat pada pukul 14.00 WIB. Perjalanan kami memakan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 14 jam.

Kami sampai di desa Sendang Mulyo pada tanggal 20 Oktober 2018 pukul 04.05 WIB. Saat kami sampai, langit masih gelap dan banyak mahasiswa yang masih dalam keadaan mengantuk.

 Sesampainya di desa Sendang Mulyo, agenda kami yang pertama adalah mengikuti acara penyambutan di balai desa. Kami 'pun dibuat menunggu cukup lama sampai sekitar pukul 06.00 di balai desa. 

Pada sekitar jam 6 pagi, pak kepala desa datang dengan beberapa kepala dukuh untuk memberi kata sambutan dan menerima kunjungan kami secara simbolik. Setelah rangkaian acara penyambutan selesai, kami semua pergi ke pedukuhan masing-masing.

Kami pergi dengan menggunakan mobil pick up. Kelompok saya ditempatkan di dukuh Sembuhan Lor. Di dukuh ini, ternyata kebanyakan penduduknya beragama Katolik. Kelompok saya sampai di rumah tempat kami singgah pada pukul 8 pagi. Sesampainya di depan rumah persinggahan, kami disambut ramah oleh pemilik rumah tersebut. Namanya adalah Mbah Suwar. Beliau merupakan seorang nenek yang bisa dibilang cukup tua namun masih sangat ramah dan memiliki semangat yang tinggi. Kami memanggil beliau dengan sebutan "Mbah". 

Di rumah tersebut, Mbah tidak tinggal sendiri. Beliau ditemani oleh anaknya yaitu Ibu Sutarmi. Karena Mbah Suwar tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia, maka Ibu Sutarmi bertindak sebagai penerjemah. Hal ini sangat membantu kami dalam berkomunikasi dengan Mbah Suwar.

Pada sekitar jam 9 pagi, kami sudah selesai beres-beres dan bersiap untuk berkegiatan. Namun ternyata pada hari tersebut Ibu Sutarmi tidak bekerja, maka kami menggunakan waktu yang ada untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. 

Pada sekitar pukul 12 siang, Ibu Sutarmi menawarkan kami untuk makan siang bersama. Saat makan siang, beliau mengajak kami untuk berkeliling desa pada sore hari.

Sekitar jam 3 sore, kelompok saya dan Ibu Sutarmi berjalan berkeliling dukuh Sembuhan Lor. Ternyata Ibu Sutarmi memiliki dua petak sawah yang cukup luas. Beliau mempekerjakan dua orang buruh untuk menanam padinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun