[caption id="attachment_196787" align="alignleft" width="331" caption="Sbr: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:f8xtDbITKbeIZM::&t=1&usg=__ggSqChIcCymyiff4ExJdCFg2My0="][/caption]
SAYA sering mendengar istilah “ekonomi kerakyatan” atau saya singkat saja di sini menjadi “Ekoraktan”. Biar kedengarannya sedikit keren mengikuti kemajuan zaman. Sebab selama ini istilah ekonomi kerakyatan nampaknya belum ada singkatannya. Saya sendiri tidak mengerti kenapa istilah ini belum di singkat dalam penyebutannya. Padahal di negara kita setiap ada jargon-jargon tertentu selalu di sebut dalam bentuk singkatan. Misalnya Golongan Karya jadi populer Golkar, Partai Demokrat jadi PD, dan istilah lain yang begitu banyak disebutkan dalam bentuk singkatan.
Kenapa ekonomi kerakyatan tidak disingkatan? Mungkin saja hal ini karena bila disingkat, kedengarannya tidak akan menjual. Jadi, untuk istilah ini biarlah menyebutnya tanpa menyingkatnya “Ekonomi Kerakyatan”. Nampaknya istilah itu dapat menggugah hati nurani rakyat dibandingkan dengan sebutan singkatan, misalnya seperti yang saya singkat: “Ekoraktan”. Pasti semua pembaca sepakat singkatan itu tidak menjual sama sekali.
Lupakan masalah singkat menyingkat itu. Dan yang pasti semua rakyat kita pernah mendengar sebutan “Ekonomi Kerakyatan”. Bila pada awal tulisan saya, saya katakan kita sering mendengar istilah itu. Tetapi fakta berkata lain, bukan hanya “sering” malah kita “terlalu sering” mendengar istilah itu selama ini. Apalagi pada saat pemilu tiba. Tidak peduli apakah itu pemilu memilih Anggota Dewan yang Terhormat, pemilu pemilihan Presiden termasuk dalam Pemilu Kada istilah ini menjadi senjata pemungkas.
Terus terang saya bukan ahli ekonomi, jadi tidak tahu persis apa makna yang sebenarnya dari istilah ekonomi kerakyatan yang dimaksudkan itu. Karena saya sebagai objek mereka itu, maka saya artikan yang dimaksudkan dengan Ekoraktan itu barangkali (mungkin) adalah ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Tetapi saya juga tidak dapat memastikan apakah rakyat dimaksud itu adalah mereka-mereka yang di “akar rumput” dimana banyak diantara mereka hidup melarat. Atau rakyat “pucuk rumput”, yang setiap harinya selalu berdasi pakai mobil pribadi tentu jauh dari term melarat atau justru mereka itu adalah yang berbusa-busa mulutnya selama ini capek memperkenalkan istilah itu kepada rakyat. Entahlah, saya tidak punya banyak refrensi tentang rakyat yang dimaksudkan itu.
Okelah, kita berdamai dan mengalah saja. Kita yakini saja rakyat yang dimaksud itu adalah yang di akar rumput tadi. Jadi, dengan begitu kita dapat mudah memahaminya. Artinya, setiap jargon-jargon yang diucapkan pasti semuanya untuk rakyat. Ketika mereka seperti saat ini sudah terpilih baik menjadi Dewan yang Terhormat atau Presiden atau siapapun yang menggunakan “pancingan” itu untuk mempengaruhi rakyat. Seyogyanya semua tingkah polah (kebijakan) mereka harus berjuang mati-matian untuk kepentingan rakyat. Tentu saja dalam bingkai meningkatkan tingkat ekonomi rakyat.
Sebagai rakyat, saya selalu terpikir. Ketika mereka yang selama ini menyuarakan sampai mulutnya berbusa-busa ingin memajukan negeri ini berlandaskan ekonomi rakyat. Tentu semua kebijakan ekonomi mereka (para pejabat alias pemimpin) pasti tidak akan mencekik leher rakyat.
Misalnya, selama mereka memimpin yang paling utama dilakukan adalah, pertama, menurunkan harga BBM untuk rakyat dari harga sebelumnya. Kalau sebelum mereka memimpin harga BBM 1 liter Rp. 4.500, setelah mereka memimpin turun manjadi paling kurang Rp. 4.000 saja. Kedua, menurunkan harga taraf dasar listrik (TDL). Kenapa saya ambil sampel ini, karena banyak orang menyakini, bila kedua harga tersebut turun khusus untuk rakyat akar rumput, maka ekonomi mereka akan terangkat.
Terakhir, saya tidak akan menjelaskan apa yang terjadi selama ini. Tetapi saya yakin banyak rakyat di akar rumput itu resah dengan fluktuasi harga yang terus meningkat. Hanya satu hal yang ingin saya katakan: Jangankan masalah ekonomi kerakyatan atau dalam istilah saya Ekoraktan diaplikasikan--selama setelah pemilu--dibicarakan saja tidak pernah ada lagi. Mungkin sudah mengendap di bawah telapak kaki. Diinjak-injak lalu dibuang ke kali dekat kantor para pembuat kebijakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H