Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Lainnya - Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Sepeda Motor Biasa

28 Mei 2010   09:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:54 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_152227" align="alignleft" width="240" caption="Sbr. Ilustrasi: http://kndikreo.files.wordpress.com/2009/01/3159124326_5ea0a7e3c5_m.jpg"][/caption] Membicarakan sepeda motor mengingatkan saya pada sebuah peristiwa yang luar biasa. Peristiwa yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya. Saat itu sepeda motor itu begitu berjasa. Karenanya meskipun saat ini sudah sangat ketinggalan zaman tapi tidak akan pernah saya jual. Biarkan sepeda motor itu tersimpan menjadi saksi bisu sebuah peristiwa yang bukan hanya meluluhlantakkan hartabenda tapi juga jiwa.

“Ayah, jadi dijual sepeda motor itu? “tanya anak saya. “Tidak, biarkan Ayah taruh aja di sini. Kan tidak menganggu.”Jelas saya. Anak saya tidak bertanya lagi kenapa tidak saya jual saja sepeda motor tua itu. Padahal ada orang ingin membeli. Katanya ingin dijadikan becak tempat jualan buah-buahan.

-----

Saat itu saya baru menyelesaikan kuliah di Bandung. Karena tahu saya sudah selesai kuliah dan tidak punya kenderaan, teman saya menawarkan sebuah sepeda motor itu pada saya. Saya belilah sepeda motor itu. Paling kurang dapat saya gunakan untuk jalan-jalan agar tidak naik labi-labi (angkot) sepanjang hari. Anak saya pada saat itu masih berumur kurang lebih dua tahun. Maunya beli mobil. Tapi kondisi keuangan yang tidak memungkinkan.

----

Baru satu tahun saya di Banda Aceh, pada suatu pagi minggu yang cerah. Habis sholat subuh saya mengeluarkan sepeda motor itu. Seperti biasa saya hidupkan mesin karena ada rencana sekitar jam 7.30 mau jalan-jalan dengan keluarga kebetulan saat itu ada rumah yang ditawarkan ke saya. Jadi, sambil jalan-jalan saya mau lihat keadaan rumah yang ditawarkan itu. Maklum saat itu saya belum punya rumah, masih menempati rumah Abang yang memang kosong di kawasan KP. Laksana Banda Aceh.

Tetapi tidak lama kemudian, rumah yang saya tempati itu perlahan-lahan bergoyang. Semakin lama semakin kuat goyangannya. “Gempa.., begitu teriak tetangga saya. Lalu saya gendong anak saya, kemudian saya keluar rumah sambil memanggil isteri saya di dapur. “Mi, Keluar.  Gempa.” Dan Masya Allah, seumur-umur saya baru kali ini saya merasakan gempa yang sangat teramat dahsyat. Semua penduduk berhamburan keluar rumah dan semua berjajar sepanjang jalan dengan wajah-wajah yang sangat ketakutan. Apalagi di dalam toko-toko terdengar suara berderingan karena lemari atau rak-rak tempat barang-barang berjatuhan. Terus terang sesaat saya hampir tidak dapat melihat apa-apa. Dan sempat terjatuh sambil mengendong anak saya. Tetapi tidak berapa lama kemudian gempa yang maha dahsyat itu sampai 8,9 SR perlahan berhenti. Wajah-wajah ketakutan terduduk diam. Dan tidak berapa kemudian, terdengar suara sirene meraung-raung dijalanan. Ada kabar beberapa toko ambruk rata dengan tanah.

-----

Setelah gempa itu, perasaan kami terasa sedikit lega, meskipun ada rasa was-was takut ada gempa susulan. Saya yang pada saat gempa masih mengenakan sarung, untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, cepat saya pakai celana panjang. Isteri saya, mengambil gendongan anak kami. Takut entah apa yang terjadi setelah ini.

Terus terang setelah itu, saya sempat bincang-bincang dengan tetangga. Saya katakan, bila di Jepang gempa yang besar ini pasti sudah naik gelombang laut. Saat itu saya lupa istilah tsunami. Saya bilang, kalau Banda Aceh naik air laut, 1 meter saja, pasti akan terendam semuanya. Karena kota Banda Aceh adalah kota yang terletak didataran paling rendah dan paling dekat dengan laut. Tetapi dalam pikiran saya, tempat tinggal saya relatif jauh dengan laut, sehingga perasaan saya biasa-biasa saja.

Lalu tidak berapa lama kemudian, saya mendengar teriakan dari lantai dua ruko tetangga saya, “Air laut naik,. Air laut naik. Air laut naik setinggi pohon kelapa”. Dan bersamaan dengan itu, melalui jalan di depan rumah saya, orang-orang berlarian menyelamatkan diri sambil berteriak. “Lari-lari, Air laut naik-Air laut naik”. Maka seketika saya dan isteri juga ikut-ikutan lari.

Sampai di jalan utama, saya melihat, Masya Allah, orang-orang dengan wajah ketakutan penuh sesak. Kenderaan roda dua dan empat beriringan dahului mendahului dengan suara klakson yang memekakkan telinga.

Dan kurang lebih satu kilo saya lari, lalu saya teringat sepeda motor yang telah saya starter tadi. Saya bilang ke isteri, tidak mungkin kita berlarian seperti ini terus. “Kamu berlari terus, saya kembali mengambil sepeda motor.” Terus terang,  pikiran saya saat itu kacau balau. Apalagi anak saya yang dalam gendongan umminya tidak henti-hentinya menangis.

Ketika saya sampai di rumah kembali. Saya baru yakin bahwa memang benar air laut naik. Air di got dan dijalanan sudah terus menaik. Karena pada saat kami berlarian tadi  air itu belum kelihatan. Bersyukur, daerah tempat tinggal kami tidak dihantam gelombang karena gelombang itu sudah pecah dan tertahan oleh toko didepan rumah.  Air laut itu hanya mengalir lewat got dan di antara toko dan rumah penduduk yang padat.

Dengan pikiran yang kalut saya masuk ke dalam rumah dan sempat ambil map yang berisi izajah dan surat penting lainnya. Lalu saya ambil sepeda motor itu, saya lewati air yang sudah semakin banyak tetapi masih bisa dilewati sepeda motor. Kiri kanan memang sudah tidak ada orang lagi, kecuali hanya satu dua yang sayapun tidak sempat mengenal siapa. Lalu saya tancap gas. Tidak berapa lama kemudian, diantara orang-orang yang terus berlarian saya melihat isteri saya, anak dan keponakan saya.

Tanpa pikir panjang karena memang pikiran yang semakin kacau, kemenakan saya duduk di depan, isteri dan anak di belakang. Kembali saya menyeruak jalanan yang penuh dengan orang. Perasaaan saya, sepeda motor itu larinya sangat cepat, hingga tanpa saya sadari, kami berlari  hampir 30 km ke arah Sigli.

Terus terang saat itu, yang saya tahu adalah bagaimana menarik gas motor agar larinya cepat. Saya tidak tahu bagaimana nasib orang-orang yang jalan kaki yang pernah saya lewati. Karena tidak lama kemudian, setelah sampai di tempat yang saya perkirakan aman, saya mendengar ratusan mayat ditemukan di Kota Banda Aceh.

----

Mengingat kejadian itu, tidak mungkin saya menjual sepeda motor itu. Meskipun saat ini pemerintah sudah berencana untuk menaikan harga BBM, atau tidak mensubsidikan lagi BBM bagi sepeda motor. Sepeda motor itu adalah bukan sepeda motor biasa bagin saya. Sepeda motor itu adalah sepeda motor luar biasa yang pernah saya miliki.

-------

Di Banda Aceh, bukan sepeda motor saya saja yang luar biasa. Banyak sepeda motor lain yang cukup berjasa. Beberapa teman yang lain juga banyak yang bercerita tentang sepeda motor- sepeda motornya yang memiliki makna luar biasa. Banyak yang tidak mau menjualnya.Alasan mereka: Sepeda motor itu sebagai tanda peringatan bagi anak cucunya kelak tentang sebuah kejadian yang luar biasa yang pernah dialaminya. Tentang kisah Tsunami yang menelan ratusan ribu korban dan harta benda. Kejadian itu terjadi tanggal 26 Desember 2004. Mudah-mudahan ada hikmahnya. Salam Kompasiana.

Catatan: Tulisan ini masih akan diperbaiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun