Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Lainnya - Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bila Rupiah 15000/Dolar, Apa Kata Habibie?

18 Desember 2014   23:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:01 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fluktuasi nilai rupiah hampir menembus angka 13.000/dolar dalam bulan Desember 2014 ini memunculkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat.  Padahal pemerintah Joko Widodo sudah berjalan hampir 100 hari. Pertanyaan klasik adalah apakah Pemerintah yang baru ini tidak diterima pasar?.

Tentu pemerintah memiliki jawaban tersendiri sebagaimana disebutkan Menku bahwa salah satu faktor melorotnya nilai rupiah karena krisis ekonomi Rusia. Bahkan menteri perdagangan Rahmat Gobel mengklaim penurunan angka tukar rupiah membikin eksprotir untung besar.

Memang diakui, pelemahan rupiah menguntung sebagian mereka termasuk petani yang hasil pertaniannya dieksport. Masih teringat pada krisis tahun 1998, dimana petani nilam untung besar. Pada saat itu, harga minyak mencapai Rp. 1.500.000 per kilo. Efek harga minyak nilai dikampung saya (Aceh) saat itu, hampir setiap keluarga membeli sepeda motor baru. Tidak kelihatan sedikit telah terjadi krisis moneter pada saat itu. Saya kira, begitu pula petani rempah-rempah, karet dan lain sebagainya.

Karena itu sebenarnya, bagi masyarakat kampung yang pada umumnya petani, melemahnya nilai tukar rupiah bukan menjadi masalah. Bahkan bila hasil panennya dapat diekspor malah menguntungkan.

Tetapi yang menjadi masalah adalah sebagian masyarakat yang mata pencahariannya di dunia industri—baik industri kecil mapun besar yang bahan bakunya harus diimport. Mereka pasti merasa sangat kewalahan dengan melemahnya nilai tukar rupiah.

Begitu pula pengusaha elektronik dan sejenisnya. Karena dolar tinggi maka terpaksa barang yang dijualnya juga harus tinggi. Akibat harga tinggi para pembeli otomatis berkurang dan yang terjadi adalah penghasilan mereka juga berkurang.

Namun demikian, tidak stabilnya nilai tukar rupiah yang cenderung melemah itu menandakan bahwa ekonomi bangsa Indonesia tidak baik. Bahwa bangsa kelihatan tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam bidang ekonomi. Artinya, pengelolaan ekonomi Negara otomatis dapat dinilai tidak baik.

Berkaitan dengan itu, pertanyaannya adalah siapa yang bertanggungjawab?, tentu tidak lain  adalah pemerintah. Karena itu, tidak peduli apapun alasan pemerintah faktanya saat ini dalah nilai tukar rupiah melemah. Hal yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah bagaimana nilai tukar rupiah menguat. Karena implikasinya kemudian sangat luas menyangkut harkat dan martabat bangsa. Apalagi mata uang negara merupakan salah satu identitas bangsa.

Apakah pemerintah mampu melakukan itu? Hal ini sangat tergantung bagaimana pemerintah bekerja. Apakah mereka mumpuni atau tidak. Indikatornya sangat simple, bila rupiah secepatnya menguat berarti pemerintah saat ini mumpuni. Bila tidak, atau rupiah menyentuh level Rp. 15.000/dolar atau lebih rendah lagi, apa kata Prof. Dr. Bj. Habibie presiden RI di masa krisis 1998 dulu.  Saat itu Habibie mampu menguatkan nilai tukar rupiah…(DJ).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun