Ramadan tahun ini hadir di tengah pademik COVID-19. Sejak awal Ramadan sampai saat ini berita kematian meliputi hari-hari. Termasuk informasi pasien yang terinfeksi positif serta orang-orang dalam pengawasan (ODP) semakin bertambah.
Wabah pandemik COVID-19 memang diprediksikan akan berimbas pada berbagai lini kehidupan. Tak hanya mengancam jiwa, juga melumpuhkan perekonomian negara. Dunia usaha banyak yang tak bisa bergerak bahkan ada yang lumpuh. Banyak karyawan yang dirumahkan (PHK). Angka pengangguran meningkat drastis. Bahkan ada yang sudah mulai kesulitan hanya sekedar untuk makan. Krisis ekonomi dan krisis sosial agaknya (mudah-mudahan tidak) sudah di depan mata.
Sampai saat ini belum ditemukannya vaksin anti korona yang ampuh. Makanya, segala daya upaya dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 agar tidak meluas dan tidak semakin banyak jatuh korban. Mulai dari physical atau social distancing sampai penerapan kebijakan Lockdown.Â
Istilah Lockdown menjadi sangat populer selama pandemik COVID-19. Lockdown dimaknai sebagai sebuah kebijakan untuk mencegah pemindahan orang, baik masuk atau keluar dari suatu wilayah.
Ternyata, konsep lockdown dalam sejarah perkembangan Islam bukan hal baru. Dalam menghadapi wabah, Rasulullah SAWa telah memberi teladan kepada ummatnya. Bahwa bila datang suatu wabah di suatu daerah tidak boleh memasuki wilayah tersebut. Bila sudah berada  dalam wilayah yang sedang mewabah maka jangan keluar dari wilayah tersebut.
Saat ini, beberapa negara seperti Vietnam, Malaysia dan beberapa negara di Eropa telah menerapkannya. Namun di Indonesia, di daerah  episentrum COVID-19 seperti Jabodetabek,  Jabar, Surabaya dan beberapa daerah lain menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Salah satu faktor keberhasilan Lockdown atau apapun istilahnya itu adalah kedisplinan warga dalam mematuhi protokoler pencegahan. Misalnya,  tidak memaksakan diri beraktivitas diluar, sebisa mungkin beraktifitas di rumah atau Work At Home (WAH) dan tetap di rumah atau Stay At Home (SAH). Dalam kondisi seperti ini, pemerintah berkewajiban memberi insentif  tertentu kepada rakyatnya.
Sementara itu, Ramadan dalam suasana "lockdown" seperti saat ini memiliki makna tersendiri. Beda dengan Ramadan dalam keadaan normal. Dalam keadaan "lockdown" ada pembatasan aktivitas warga diluar rumah. Sehingga suasananya sejalan dengan suasana yang diharapkan dalam bulan Ramadan dimana muslim di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa.
Bagi kaum muslim, Ramadan  adalah bulan yang dinanti-nantikan. Dimana, dalam Ramadan selalu bertaburkan rahmat, maghfirah, pahala berlipat ganda dan pertolongan Allah SWT. Dalam rangka menggapai itu semua sebisa mungkin pelaksanaan ibadah terutama ibadah puasa yang diwajibkan kepada orang-orang beriman (QS: Al-Baqarah: 183) dapat dilakukan sekhusuk mungkin.
Bagi orang-orang beriman, melaksanakan ibadah puasa dengan khusuk adalah sebuah kenikmatan. Menikmati kenikmatan berpuasa adalah puncak tertinggi yang diimpikan selama bulan Ramadan. Lagi pula, puasa memiliki terminasi istimewa yaitu ibadah yang tak tertandingi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abu Ummah Al-Bahili: "Hendaklah engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya" (HR.Ahmad dan Nasa'i).
Kemudian ditambah lagi makna puasa di sisi Allah SWT seperti dalam sebuah hadist Qudsi yang sering dibacakan penceramah di setiap bulan Ramadan, Allah berfirman: "Setiap amal manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan langsung memberikan pahalanya" (HR. Bukhari-Muslim).