Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca "Api dalam Sekam"

24 April 2010   01:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_125501" align="alignright" width="200" caption="Sumber Gbr: http://www.ansoritoyib.com"][/caption]

Pertama saya berkenalan dengan kata-kata “Api dalam Sekam” ketika saya masih duduk di kelas III atau IV SD saat pelajaran Bahasa Indonesia, tentang materi Pribahasa. Artinya pribahasa itu bisa bermacam-macam, ada yang memaknakan dendam atau rindu atau kesedihan yang tersimpan di dalam hati yang tidak dikeluarkan. Ada juga yang memaknai sebagai bentuk bentuk amarah yang terpendam dipicu oleh sebuah kebijakan atau apapun namanya yang dirasakan oleh individu atau sekelompok orang tidak adil.

Guru saya pada saat menjelaskan makna pribahasa api dalam sekam itu mengaitkan dengan sebuah kejadian nyata. Menurutnya, ada seorang anak yang bermain-main di dekat tumpukan sekam sebuah “pabrik” pengilingan padi. Tumpukan sekam itu sebenarnya sudah pernah dibakar oleh pemiliknya. Akan tetapi karena memang tempat itu merupakan tempat penampungan sekam, otomatis si pemilik usaha pengilingan padi tersebut kembali tiap hari membuang sekam yang ada di tempat itu. Maka sekam yang sudah dibakar tertutup oleh sekam yang baru. Anak tadi berpikir tidak akan terjadi apa-apa kalau dia naik ke atas tumpukan sekam itu. Tetapi apa yang terjadi, menurut guru saya, anak tersebut langsung masuk ke dalam longsoran sekam. Untung saja ada orang yang melihat kejadian itu, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa dan anak kecil yang tidak tahu menahu dengan api yang ada dalam sekam terselamatkan. Kalau tidak, mungkin tragedi kemanusiaan akan terjadi.

Bila kita kaitkan dengan kehidupan sosial politik masyarakat, istilah api dalam sekam menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya. Hal ini perlu diantispasi sedini mungkin sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bahkan bisa berdampak luas. Mengantispasi kemungkinan-kemungkinannegative dalam masyarakat diperlukan seorang pemimpim yang memang mampu membaca indikasi-indikasi adanya “api dalam sekam”.

Kita tidak menginginkan pemimpin seperti anak kecil yang dicontohkan oleh guru saya dulu. Sebab itu akan sangat berbahaya dalam kehidupan kita berbangsa. Pertanyaannya adalah, apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama ini sepertidi priok beberapa waktu yang lalu atau bahkan di Batam baru-baru ini karena pemimpin kita tidak mampu membaca adanya indikasi api dalam sekam itu?

Menhindari hal-hal seperti itu, sangat diperlukan pemimpin bangsa yang mampu membaca tanda-tanda “api dalam sekam” sepertim yang kita gambarkan itu. Apalagi ada pemimpin yang memang sengaja bermain dibelakangnya atau “api dalam sekam” itu sengaja dipelihara untuk sebuah konspirasi dengan tujuan-tujuan yang tidak dimengerti oleh orang-orang awam. Ini sangat berbahaya. Sebab korban utama dari konspirasi itu adalah rakyat-rakyat kecil yang tidak berdaya. Bukan hanya kerugian harta benda, tetapi juga jiwa melayang percuma.

Setiap pemimpin harus bisa memberi kenyaman kepada rakyat yang dipimpinnya. Bila dia adalah pemimpin pemerintahan maha mereka kenyamanan kepada rakyatnya. Bila dia pemimpin sebuah organisasi, termasuk organisasi bisnis maka harus memberi kenyamanan kepada setiap anggotanya. Para pemimpin harus mampu dengan cepat membaca api dalam sekam itu. Sudah cukup rakyat menderita akibat kesalahan-kesalahan kebijakan serta keterlambatan pemimpin dalam membaca indikasi-indikas “Api dalam Sekam”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun