Mohon tunggu...
Husin A. Fatah
Husin A. Fatah Mohon Tunggu... lainnya -

selalu mencari batas, karena tidak pandai membuat batas.. \r\nkunjungi husinalfatahpena.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fatwa Bang Haji (Intertekstual dan Intoleransi [2])

23 September 2012   15:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih inget tentang kisah bang Haji Rhoma Irama tentang fatwanya tentang haram memilih orang kafir untuk dijadikan pemimpin? Ya, pasti saya yakin anda belum lupa akan hal ini. Ada hal yang menarik terkait pembicaraan bang Haji kala itu yang menjadi polemic dalam pikiran pribadi, yakni esensi fatwa yang kemudian malah dikalahkan dengan kekuatan rasional masyarakat Jakarta dalam memilih pemimpin.

Saya sendiri, terkejut tiba-tiba bang haji ikut-ikut dalam kontestasi pilkada DKI, terus terang sebagai penggemar lagu-lagu bang haji saya sdikit tidak simpatik sama perilaku dan tindakan beliau. Karena memang beliau pada masa lalunya tidak pernah lepas dari skandal “poligami”, yah sebenarnya sangat berbahaya bila kita bertemu dengan seseorang yang seolah-olah mengerti agama, tetapi ia sendiri menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk melegalkan aktifitas nafsu bejatnya. Tak salah bila dikemudian hari Salman Rushdie menerbitkan buku “The Satanic Verses” atau dalam bahasa ibu kita bisa disbut “ayat-ayat setan”, ya bila kita sebagai muslim yang mengerti akan hakikat makna huruf, teks, hubungan interteks sebenarnya tidak ada masalah dengan buku ini. Hanya memang bagi orang-orang yang tidak terbiasa bermain dengan kata-kata akan terdengar “gimana gitu”, begitu pula dengan term-term aneh macam Radikalisme, Liberalisme, Fundamentalisme, Sekularime dll, telah menjadi barang istimewa buat masyarakat kita. Seolah-olah kafir, seolah-olah yang maju hanya kafir.

Kembali ke ihwal fatwa bang Haji. Bang Haji pada ramadhan kemarin dalam menyampaian tafsiran ayat Qur’an versi sonata mengatakan bahwa haram hukumnya memilih pemimpin kafir karena dilarang Qur’an untuk bersekutu, berkawan dekat, dan menjadikan pemimpin orang2 kafir atas kamu. Dan di kesempatan itu pula Bang Haji memaparkan mengenai asal-usul Jokowi dan Ibundanya Jokowi yang disebut Rhoma sebagai non-muslim yang pada akhirnya ternyata pernyataan itu hanya bualan semata.

Ada dua hal fatal yang disampaikan BangHaji pada kesempatan tersebut. Pertama, Banghaji tidak member definisi yang jelas terkait kaum kafir yang dimaksud. Bila dia secara implicit menunjuk pada Ahok maka argumentasi BangHaji ini secara kebahasaan dengan mudha dapat dibantah. Kafir dalam bahasa inggris adalah “unbelief” yang artinya tidak percaya, artinya atheis. Bila dihubungkan dengan konteks ahok, maka itu salah kaprah. Dalam term kristiani, Ahok jelas-jelas beriman, karena ia percaya pada agamanya. Ini yang menjadi polemic. Apabila Banghaji mendasari pernyataannya terkhusus bagi orang-orang muslim, maka bangHaji lupa ada beberapa kategori kafir yang dijelaskan rasululllah. Bahkan Rasulullah pernah meminta suaka ke kerajaan Abisinia (sekarang Etiopi) yang notabene nasrani dari kejaran bangsa-bangsa Quraish masa itu. Dan dalam sebuah riwayat pula, Rasululullah pernah dengan keras melarang orang-orang Muslim untuk menyerang orang-orang kafir dzimmi, yakni mereka yang tidak memusuhi dan memerangi Islam. Penunjukan kekafiran atas Ahok oleh bangHaji secara kebahasaan melanggar logika makna. Kemudian yang kedua, BangHaji memfitnah Ibu jokowwi sebagai orang nasrani. Tentunya anda bisa menilai sendiri bagaimaa bisa seorang tokoh macam BangHaji ni sembrono dalam memberikan informasi kepada khalayak.

Banghaji melupakan aspek terpenting dalam memahami wacana. Ada beberapa aspek dalam memahami waccana berdasarkan konteks situasi. Pertama, Field atau dalam konteks apa ia berbicara. Dalam konteks masa itu, dia berada pada nuansa ramdhan, dan pilkada DKI. Dia tidak bisa memisahkan antara urusan politik dan urusan agama. Banyak orang bilang, bila memisahkan agama dan politik adalah sekuler. Memang benar itu. Hanya saja apakah yang dilibatkan hanya atribusi agama, atau esensi agama? Lebih utama mana, bersikap dan berlaku agamis, atau hanya sekedar koar2 membela agama Tuhan? Sangat fatal bagi seorang dai yag tidak bisa membedakan urusan politik dan agama dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah Muawiyah dan Sayyid Ali sudah memberi contoh. Aspek yang kedua adalah, Tenor orang-orang yang terlibat dalam wacana tersebut. Semestinya sebelum menyampaikan informasi tersebut ia memahami siapa yang memunculkan wacana dan siapa yang menjadi target wacana tersebut agar tidak terjadi misspemahaman di tingkat akar rumput. Sejatinya, kita bisa memahami sebelum menyampaikan informasi kepada masyarakat, kita perlu benar-benar menyaring dan melakukan kroscek terhadap sebuah informasi. Saya yakin semua tokoh akan begitu. Kecuali mereka yang dibayar dan memilki tendensi.. hehe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun