Pada era tahun 70 sampai dengan 80 an, hingga awal 90an, masyarakat Indonesia sangat familiar dengan sepeda merk Phoenix. Sebuah sepeda buatan China. Bahkan saking melekatnya 'nama China', sampai orang awam menyebut sepeda tersebut dengan sebutan RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
Jaman itu, asal sepeda buatan China, jaminan mutu. Bagus, kuat, dengan bentuk yang lebih ringkas dari sepeda buatan Eropa yang waktu itu muahalll.
Taruhlah di banding Gazelle atau Phillips.
Dominasi sepeda merk Phoenix justru tumbang oleh sepeda buatan dalam negeri yang di rakit divisi roda dua Astra, yaitu Federal, yang mengusung tren baru alat transportasi murah tersebut.
Federal menghadirkan sepeda gunung.
Tak pelak Phoenix yang di produksi oleh Shanghai  Phoenix Bicycle Limited tumbang karena bentuk sepeda klasik sudah mulai ditinggalkan masyarakat Indonesia dan beralih ke tren sepeda gunung yang lebih sporty.
O ya, yang terkenal waktu itu disebut Jenki. Jengki disadur dari kata Yankee ( Orang Amerika). Saya tidak tahu kenapa sepeda made In China ini di personifikasikan dengan sosok Yankee. Padahal secara bentuk lebih ringkas dari sepeda Eropa.
Sedangkan menurut situs resmi Phoenix, nama sepeda jenis ini adalah Woman's RoadSter Light for Women type SPL 68.
Lalu kenapa ada anggapan bahwa produk Tiongkok punya kualitas tidak bagus?
Ada dua penyebab, setidaknya menurut opini pribadi saya.
Penyebab pertama adalah membanjinya sepeda motor Made In China kala deregulasi otomotif di cetuskan oleh pemerintah yang kala itu dipimpin Gus Dur, bahwa kendaraan bermotor bisa diimpor secara utuh atau Completely Build Up.
Tak pelak, kala itu tanah air kebanjiran motor Made In China dengan merk China seperti Jialing dan kawan-kawan, atau motor produksi home industri Tiongkok yang di order 'produsen' tanah air dengan merk nasional macam Garuda, Kanzen, dan lain-lain
Kualitas?
Nanti dulu!
Ada harga ada rupa, ada Jumlah(uang) ada kualitas.
Bagaimana mungkin Anda dapat sepeda motor Build Up dengan kualitas bagus dengan harga murah. Logikanya kan kayak gitu.