Tak bisa kita pungkiri, apapun yang berhubungan dengan kekerasan selalu laku keras dinegeri ini. Tengoklah film Action yang mengumbar kekerasan, selalu dipadati penonton. Dulu waktu kecil saya suka nonton bioskop murahan ( Atau gratis) yang dijuluki Misbar alias gerimis bubar. Sebelum nonton saya lihat sekilas temanya. Kalau film Action, saya tonton. Kalau nggak, nanti dulu deh...
Lihat, bahkan kekerasan telah disukai sejak puluhan tahun lalu. Walau beradaban telah berubah, 'budaya' kekerasan tetap aja menjadi hal yang disukai.
Walau kini lembaga sensor film semakin ketat menyensor adegan, utamanya kekerasan, toh adegan kekerasan masih gampang didapat dari video -video yang beredar di kanal video macam Youtube.
Video-video yang menyuguhkan adegan kekerasan selalu saja mendapat jumlah view bahkan subscriber, dibanding video dengan tema mendidik.
Jadi kalau mengkambinghitamkan sepakbola sebagai ajang pengumbar kekerasan fisik, tidak sepenuhnya benar. Unsur bela tim mungkin menyumbang 20 persen faktor terjadinya kekerasan di lapangan bola. Selebihnya ya unsur manusianya itu sendiri.
Dinegeri ini, jangankan sepakbola, ajang konser dangdut pun bisa mendadak menjadi Killing Field, kalau yang nonton bangsa Barbar nggak tau aturan yang mengedepankan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah.
Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?
Tanya aja sama tembok!
Karena rumput yang bergoyang sudah malas menjawab...
( Saya haturkan rasa duka sedalam-dalamnya kepada keluarga Haringga Sirla atas meninggalnya ananda. Semoga arwahnya diterima disisiNya, serta keluarga diberi ketabahan. Amin...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H