"Kiri, Bang!" Seorang penumpang berseru dari bangku belakang, sopir Angkot menepikan kendaraan.
Penumpang turun, lalu menyodorkan duit pecahan dua ribuan dua lembar.
" Darimana, Bu?" Tanya si sopir
" Pintu tol Kebun Jeruk, Bang..."
" Seribu lagi, Bu..." Protes si sopir karena merasa haknya dikurangi.
Si penumpang menyodorkan lagi koin pecahan seribuan, rupanya duit yang seribu tadi memang sudah dipersiapkan, hanya saja, penumpang tadi mencoba bargaining. Mencoba 'korup'. Kenapa saya sebut korup, karena dia sudah tahu tarifnya. Karena tarif itu ketentuan dari organda. Lalu si ibu akal-akalan. Mengakali sopir angkot. Berusaha mengambil hak sopir angkot.
Siapa yang dirugikan?
Ya sopir angkot! Jelas kan..
Saya yakin, seyakin-yakinnya, kalau si ibu mengikuti perkembangan berita di media-media, baik media online, televisi, atau media cetak, pasti akan dengar dan lihat berita tentang Irman Gusman..
Saya yakin seyakin-yakinnya, si ibu akan merespon dengan sewotnya, " Dasar koruptor!"
Saya yakin kalau Irman Gusman mendengar makian sang ibu, akan jawab, " Kalau saya korupsi, yang saya rugikan siapa, bu? Ibu? Nggak kan! Pemerintah? Saya tidak ambil duit perintah kan! "
Oke, tiap orang pasti mempunyai pembelaan diri, terlepas salah atau benar kasus yang dihadapi. Penumpang angkot boleh saja membela diri, bahwa biasanya ongkos untuk jarak antara Kebun Jeruk sampai Meruya adalah empat ribu perak. Lihat, biasanya. Tapi pendapat ibu itu dipatahkan ketika si sopir menyodorkan daftar tarif yang telah ditentukan oleh Organda dan disetujui Dinas Perhubungan. Jadi kalau Si Ibu  menggunakan kata 'biasanya', berarti biasanya si ibu itu korup.
Begitu pun Irman Gusman. Dia bisa membela diri, siapa yang dirugikan? Ngambil uang pemerintah, tidak. Nyolong duit swasta, tidak juga.
Tapi pembelaan Irman Gusman akan mentah ketika disodori Undang-undang Tipikor, bahwa tak boleh seorang pun pejabat negara, penyelenggara pemerintahan, menerima pemberian berupa uang atau hadiah lainnya dengan tujuan tertentu dari siapapun yang berkepentingan terkait dengan jabatannya.
Itu aturannya jelas, gamblang, dan tak terbantahkan. Saya tidak akan bahas Undang-undang Tipikor tahun berapa, pasal berapa, ayat berapa disini. Bukan ranah saya untuk membahas itu.
Tapi apa yang dilakukan Irman Gusman jelas Menguntungkan kelompok tertentu terkait penambahan kuota gula impor. Eh, gula impor atau impor gula ya? Pokoknya kayak gitu lah...
Lalu apa hubungan antara Ibu penumpang angkot dan Irman Gusman?
Sama-sama ingin  memperkaya diri.
Bedanya penumpang angkot itu berusaha mengambil hak orang lain senilai seribu perak, sedangkan Irman Gusman menerima dari orang lain (yang mungkin) dengan kerelaan sebesar seratus juta rupiah supaya bisnisnya mangkin mulus. Tapi kedua-duanya sama-sama pelanggar. Sama-sama menabrak aturan yang ada.
Beginikah mental bangsa kita? Dari rakyat kecil sampai pejabat udah tahu cara korupsi?
Siapa lebih baik, antara rakyat jelata atau pejabat pemerintahan?